Senin, 04 Maret 2019

Pemanfaatan Kaliandra ( Seri 4 )


Calliandra calothyrsus merupakan jenis pohon serba guna yang populer karena mudah ditanam, cepat tumbuh dan bertunas kembali setelah dipangkas berulang kali. Di berbagai tempat di Indonesia, pohon ini ditanam untuk kayu bakar dan hijauan ternak, konservasi dan perbaikan kualitas tanah, serta sebagai pohon peneduh bagi jenis tumbuhan lainnya. Karena C. calothyrsus berbunga sepanjang tahun, jenis ini sangat penting untuk produksi madu. Keberhasilan pemanfaatan jenis ini di Indonesia menumbuhkan minat bagi kalangan yang lebih luas, dan banyak penelitian yang sedang dilakukan  di  negara  lain untuk mengevaluasi potensi jenis tanaman ini, khususnya untuk perbaikan kualitas tanah dan untuk hijauan ternak. Pemanfaatan C. calothyrsus dalam sistem usaha peternakan akan dibahas secara  terpisah dalam Bab 5.
Kayu bakar dan bubur kayu (pulp)
Lebih dari 30.000 hektar kebun C. calothyrsus untuk kayu bakar sudah dibangun di lahan-lahan pribadi dan milik umum di Jawa. Kayunya yang berkerapatan tinggi (berat 0.5 sampai 0.8) membuatnya cepat kering dan mudah dibakar, yang menghasilkan energi sekitar 4600 kkal per kg kayu kering dan 7200 kkal panas per kg arang. Untuk produksi kayu bakar, C. calothyrsus biasanya ditanam dengan jarak tanam 1 x 1 m atau 1 x 2 m. Untuk merangsang tunas baru, pohon sebaiknya dipangkas setinggi 30 sampai 50 cm pada akhir musim kemarau. Hasil kayu bakar per tahun berkisar 5-20 m3/ha dari kebun yang berumur satu tahun dan 30-65 m3/ha dari kebun yang berumur 20 tahun (NAS 1983).

Di Lembah Pintulung, Sulawesi Selatan, kebun-kebun C. calothyrsus merupakan sumber kayu bakar yang utama industri rumah tangga untuk gula aren (Arenga pennata). Para petani lebih menyukai kayu bakar dari Calliandra karena daya bakarnya lebih tinggi daripada kayu bakar jenis lain sehingga waktu yang diperlukan untuk mengolah cairan gula aren menjadi lebih singkat. Kayu Calliandra calothyrsus juga dibakar untuk mengasapi lembaran karet, mengeringkan kelapa dan membakar tungku batu bata dan tegel.
Sebuah prabrik kertas di Jawa Barat, mencampur bukur kayu C. calothyrsus dengan bubur kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dan lamtoro (Leucaena leucocephal). Dengan kadar selulosa mencapai 44-51 persen, C. calothyrsus merupakan bahan yang cocok untuk bubur kertas (NAS 1983), tetapi kerapatannya yang rendah dan ketahanannya terhadap lipatan membuat jenis ini terbatas penmanfaatannya. Serat jenis ini dapat menjadi pengisi, tetapi sebaiknya komposisinya tidak lebih dari 10 persen dari keseluruhan bubur. Rekomendasi jarak tanam C. calothyrsus untuk produksi bubur kertas adalah 2 x 2 m (2500 pohon/ha).
Pakan lebah
Calliandra calothyrsus merupakan sumber pakan  yang penting untuk lebah madu di Indonesia. Produksi madu telah meningkat dari 650 ton pada tahun 1989 menjadi 1300 ton pada tahun 1994, dan para petani Indonesia sekarang mengelola sekitar 50.000 sarang lebah buatan. Dengan usaha tani, diperkirakan lebah dapat menghasilkan 1 ton madu setiap tahun dari 1 ha kebun C. calothyrsus (Sila, 1996).
Salah satu keuntungan lain yang menarik  dari introduksi C. calothyrsus untuk produksi madu adalah meningkatkan penyerbukan tanaman kopi. Di lembah Pintulung, petani umumnya hanya dapat memanen kopinya setahun sekali. Namun dengan berkembangnya kebun C. calothyrsus dan menghasilkan peningkatan populasi lebah, sekarang petani dapat memanen kopi dua sampai tiga  kali setahun (Sila, 1996).
Tumpang sari
Di Sri Lanka, C. calothyrsus ditanam di perkebunan kelapa untuk mengurangi pertumbuhan gulma, mengawetkan kelembapan tanah, dan memperbaiki struktur dan kesuburan tanah. Untuk produksi biomassa yang maksimum, Calliandra ditanam dengan kerapatan 2500 pohon/ha dan dipangkas sekali empat bulan setinggi 1 m di atas permukaan tanah. Pohon kaliandra tumbuh baik di bawah pohon kelapa tua yang ditanam dengan kerapatan sekitar 160 pohon/ha. Bahan kering yang dihasilkan oleh Calliandra mencapai 5 ton/ha, yang berarti dapat memenuhi kebutuhan nitrogen per tahun bagi kelapa sebanyak 30 kg pupuk hijau disebarkan di sekitar setiap pohon kelapa. Selain menyediakan nitrogen, daun C. calothyrsus juga membusuk perlahan-lahan dan dapat dijadikan mulsa untuk mempertahankan kelembapan tanah dan mencegah pertumbuhan gulma selama musim  kemarau (Liyanage dan Abeysoma, 1996).
Petani di Sulawesi juga menanam C. calothyrsus sebagai peneduh semai di perkebunan kopi, demikian juga di Guatemala dan Costa Rica. Setelah kopi tua di Guatemala dan Costa Rica, C. calothyrsus diganti dengan pohon peneduh yang lebih besar, seperti Inga, Gliricidia (gamal), dan Erythrina (dadap). Di Sri Lanka, para petani sudah menunjukkan minat mereka untuk menggunakan C. calothyrsus sebagai pohon pelindung berukuran sedang di perkebunan teh.
Di Jawa Barat, petani menanam C. calothyrsus sebagai pohon peneduh semai di  hutan  tanaman kayu bernilai tinggi, seperti Agathis loranthifolia (damar) dan Tectona (Jati), Swietenia (mahoni), dan Pinus. C. calothyrsus ditanam rapat di sepanjang garis kontur di antara barisan jenis tanaman kayu utama. Barisan tanaman pohon peneduh biasanya berjarak 2,5-3 m dari pohon penghasil kayu, bergantung pada kemiringan lahan. Pohon Calliandra dipangkas secara berkala, dan hasil pangkasan dikembalikan ke tanah sebagai pupuk hijau dan mulsa. Pohon peneduh menghambat pertumbuhan gulma, mencegah erosi tanah, dan meningkatkan kesuburan tanah.
Calliandra calothyrsus juga berpotensi tinggi untuk tumpang sari dengan tanaman pangan seperti jagung, padi atau kacang tanah. Hasil awal dari percobaan tumpang sari barisan menunjukkan bahwa pohon ini sebaiknya ditanam dengan jarak tanam 2,5 m  dalam  barisan dan dipangkas setinggi 50 cm. Biomassa hasil pangkasan kemudian dikembalikan ke tanah sebelum penanaman tanaman pangan. Barisan C. calothyrsus mungkin juga perlu dipangkas sekali atau dua kali lebih banyak selama musim tanam, untuk mengurangi persaingan mendapatkan cahaya dan kelembapan tanah. Frekuensi pemangkasan  perlu  disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan pohon, ketersediaan kelembaban tanah, dan tinggi tanaman pangan (Satjapradja dan Sukandi, 1981).
Petani di Indonesia juga melakukan tumpang sari antara C. calothyrsus dan jenis tumbuhan perdu lainnya bersama dengan tanaman pangan di lereng bukit (tingkat kemiringan kurang dari 45 persen)  dalam barisan mengikuti garis kontur yang  berjarak 1,5 m sampai 2 m. Barisan tanaman dipangkas untuk dijadikan mulsa selama musim kemarau dan pupuk hijau selama musim hujan.
Tanaman bera
Di Kamerun bagian selatan, C. calothyrsus telah terbukti sangat baik untuk meningkatkan kesuburan tanah masam. Pohon yang ditanam dengan jarak 1 x 1 m (10.000 pohon/ha) dan dikelola untuk sistem bergilir dapat meningkatkan hasil tanaman pangan berikutnya 1,5–2 kali dibandingkan dengan hasil panen setalah diberakan secara alami dalam jangka waktu yang sama (Duguma, 1996). Pohon ini ditebang di permukaan tanah selama musim tanam untuk tanaman pangan dan dibiarkan tumbuh selama masa bera.
Hasil awal dari percobaan yang dilakukan di Vietnam menunjukkan bahwa dengan mengganti bera alami dengan C. calothyrsus, masa bera dapat diperpendek dari 10–15 tahun menjadi 4–5 tahun tanpa mengurangi kesuburan tanah. Dalam sistem bera yang telah ditingkatkan, petani menanam Calliandra sebanyak 5000-10.000 semai/ha selama rotasi tanaman pangan yang terakhir (Ty, 1996).
Pengendali erosi dan tanah longsor
Calliandra calothyrsus ditanam di lereng bukit yang curam di Sulawesi Selatan, untuk mengendalikan erosi tanah dan mencegah tanah longsor. Jenis ini sangat baik untuk tujuan ini karena biji dapat ditebar langsung, cepat tumbuh, dan terus menghasilkan tunas setelah dipangkas berulang. Pohon yang ditanam di lereng bukit sepanjang garis kontur dapat menahan tanah dan akhirnya membentuk teras alami.
Rehabilitasi padang alang-alang
Di Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan, C. calothyrsus telah digunakan untuk merehabilitasi tanah masam yang tidak produktif dan ditumbuhi alang-alang (Imperata cylindrica). Areal tersebut telah diubah menjadi padang penggembalaan yang produktif untuk kambing dan domba.
Penggulmaan yang intensif sangat diperlukan untuk membangun kebun C. calothyrsus pada kondisi yang sulit ini.









Tidak ada komentar:
Write comments