Meskipun dalam marga Calliandra
terdapat beberapa jenis yang memiliki potensi
untuk produksi ternak, hampir semua evaluasi terhadap pemanfaatan
Calliandra sebagai hijauan ternak masih terbatas pada satu jenis saja, yaitu C.
calothyrsus (kaliandra merah). Pada
kondisi yang sesuai, C. calothyrsus cepat tumbuh dan dapat berperan
penting dalam berbagai sistem produksi ternak. Di Indonesia, Zapoteca tetragona
(kaliandra putih) juga digunakan sebagai hijauan ternak dan akan diuraikan
secara ringkas pada akhir bab ini.
Ciri-ciri hijauan ternak
Seperti kebanyakan hijauan ternak
dari jenis pohon dan perdu lain, C. calothyrsus
kaya protein, tetapi kandungan energi yang dapat dicerna relatif rendah.
Bagian yang dapat dimakan mengandung
20-25% protein mentah sehingga sesuai sebagai tambahan protein bagi ternak yang
makanan utamanya rumput atau jenis makanan lain yang kualitas proteinnya
rendah. Namun pemberiannya sebaiknya dibatasi paling banyak 30-40% berat segar
seluruh makanan, sebab jika lebih banyak, tidak akan dimanfaatkan seluruhnya.
Salah satu faktor yang
mempengaruhi nilai gizi adalah kecernaanya, dan sejauh mana hijauan ternak
dapat dicerna dan diserap oleh ternak. Kecernaan kaliandra sangat bervariasi,
dari sekitar 30% sampai 60%. Hijauan ternak C. calothyrsus segar dapat
meningkatkan berat badan ternak pedaging dan produksi susu pada sapi. Di Kenya,
pemberian 3 kg daun kaliandra segar meningkatkan produksi susu yang setara
dengan pemberian 1 kg bahan makanan komersial yang mengandung 16% protein
mentah (Paterson dkk. 1999). Penggantian
konsentrat makanan komersial dengan daun kaliandra akan menghemat pengeluaran
peternak, tetapi jumlah kaliandra yang diperlukan untuk menggantikan 1 kg
makanan buatan bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya, bergantung pada
banyak faktor khususnya mutu konsentrat. Jumlah yang diperlukan untuk ternak di
Indonesia berbeda dengan di Kenya.
Pakan kering dulu dianggap lebih
rendah mutunya, terutama karena hasil penelitian awal menunjukkan adanya
penurunan kecernaan setelah daun dikeringkan (misalnya, Mahyuddin dkk. 1988). Penelitian sering
menggunakan daun dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C. Hasil penelitian
terbaru (Palmer dkk. 2000) menunjukkan bahwa pengeringan pada suhu di atas 45°C
memang banyak menurunkan tingkat kecernaan. Pengalaman menunjukkan bahwa
pengeringan pada suhu yang lebih rendah, misalnya di udara terbuka pada kondisi
alami (meskipun lebih baik dibawah naungan), tidak banyak menurunkan mutu daun.
Pengeringan di bawah sinar matahari telah terbukti hanya sedikit pengaruh
negatifnya terhadap penggunaan nitrogen (Lascano1, data tidak diterbitkan),
kemungkinan karena daun banyak mengandung tanin (misalnya hampir dua kali kadar
tanin Leucaena/lamtoro). Akan tetapi, bila
kaliandra diberikan sebagai
makanan tambahan, jumlah yang dimakan akan lebih banyak jika daunnya kering
(Norton dan Ahn, 1997). Kemungkinan penurunan kualitas dapat diatasi denga cara
berikut. Dilayukan selama beberapa jam, atau dikering anginkan di bawah
naungan, lebih sedikit pengaruhnya terhadap mutu daripada pengeringan di bawah
sinar matahari. Berdasarkan hasil
penelitian ini dapat diberikan rekomendasi singkat sebagai berikut. Jika
pasokan daun kaliandra banyak dan mudah dikumpulkan, disarankan untuk
pemberikan makanan segar. Daun yang layu selama beberapa jam tidak lagi
dianggap merusak kualitas daun. Pengeringan di bawah naungan untuk penyimpanan
dalam waktu yang lebih panjang (misalnya untuk digunakan selama musim kemarau)
juga dapat dilakukan.
Bagaimanapun baiknya hijauan
ternak terlihat di laboratorium, tidak akan ada gunanya jika tidak dimakan oleh
ternak. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa C. calothyrsus disukai oleh ternak ruminansia besar atau kecil,
terutama setelah ada waktu penyesuaian. Namun dalam beberapa kasus, sapi enggan
memakannya. Perbedaan tingkat kesukaan
terhadap hijauan ternak dipengaruhi oleh provenan dan lingkungan (di
mana kaliandra ditanam). Kaliandra di Indonesia (yang berasal dari Guatemala)
berkerabat dengan provenans Patulul yang
dikenal sebagai hijauan ternak yang bermutu dan disukai (Stewart dkk. 2000).
Daun tanaman yang tumbuh di tanah yang subur lebih disukai daripada yang tumbuh
di tanah masam (Lascano, data tidak diterbitkan). Seperti kebanyakan hijauan
ternak jenis lain, ternak membutuhkan waktu penyesuaian sehingga terbiasa
memakan kaliandra, sebelum digunakan sebagai bagian dari pakan sehari-hari.
Meskipun C. calothyrsus terbukti cukup tahan terhadap hama dan penyakit di
beberapa tempat di mana pengujian telah dilakukan, selalu saja ada potensi
bahaya bila terlalu mengandalkan satu jenis tanaman saja, atau lebih buruk lagi
bila hanya mengandalkan satu provenans dari dari satu jenis. Oleh sebab itu
peternak disarankan untuk menanam C. calothyrsus bersama jenis tanaman hijauan
ternak lain yang bermanfaat. Setiap jenis memiliki kelebihan dan kelemahan, dan
peternak akan merasakan manfaat lebih besar jika menanam berbagai jenis hijauan
yang dapat saling melengkapi.
Cara produksi pakan ternak
Ada dua sistem produksi yang bisa
digunakan untuk memelihara ternak dengan menggunakan C. calothyrsus sebagai
makanan tambahan: sistem pangkas dan angkat (cut-and-carry system) atau sistem
penggembalaan langsung. Meskipun pengawetan daun C. calothyrsus dengan
dikeringanginkan sekarang dianggap sebagai pilihan untuk pakan musim kemarau,
alternatif lain untuk kedua sistem adalah
dengan teknik penundaan pemanenan pakan. Dengan cara
ini daun dibiarkan
terkumpul di pohon selama musim
pertumbuhan dan kemudian dipanen pada musim kemarau, ketika mutu dan jumlah
makanan pokok sedikit.
Dengan sistem pangkas dan angkut,
pohon kaliandra dibiarkan tumbuh sampai ketinggian tertentu kemudian dipangkas.
Kemudian tunas baru dipangkas secara berkala dan diberikan kepada ternak yang
berada di tempat lain. Ketika hijauan ternak sangat banyak dan tumbuh sangat
cepat, ternak akan memakan cabang-cabang yang hijau dan lunak yang diameternya
mencapai sekitar 1 cm. Namun ketika tanaman tumbuh lebih lambat, cabang menjadi
berkayu dan diameternya lebih kecil, dan ternak hanya akan memakan
cabang-cabang yang diameternya lebih kecil dari 0,4 cm. Setelah ternak memakan
daun dan ranting kecil (bagian yang bisa dimakan), sisa batangnya dapat
dikeringkan dan digunakan sebagai kayu bakar. Pemangkasan batang sebaiknya
tidak lebih rendah dari 30 cm di atas permukaan tanah, tetapi untuk menjamin
produktivitas yang maksimum frekuensi pemangkasan akan lebih penting daripada ketinggian pemangkasan.
Untuk mengoptimumkan nilai gizi hijauan ternak, pemangkasan sebaiknya dilakukan
jika tunas baru sudah mencapai ketinggian sekitar 100 cm. Saat itu, bagian yang
dapat dimakan mencapai 50-60 % dari biomassa total. Umumnya cara pemangkasan
seperti ini dapat dilakukan empat sampai enam kali setahun. Selama musim hujan,
kaliandra dapat dipangkas setiap enam minggu sekali tanpa mengalami penurunan
produktivitas dan kualitas.
Hanya ada sedikit informasi
tentang pemanfaatan C. calothyrsus dalam sistem penggembalaan langsung. Kayunya
rapuh, dan cabang dapat patah ketika tertarik. Selain itu, jika ternak
mengunyah kulit kayu dari batang
pohon, maka pohonnya akan mati. Akan tetapi hasil positif telah dilaporkan dari
Queensland Utara, Australia dari penggembalaan langsung selama dua tahun
(Palmer dan Cooksley, komunikasi pribadi2). Benih Calliandra calothyrsus
ditanam langsung pada penggembalaan yang sudah ditumbuhi oleh Brachiaria
decumbens. Barisan tanaman berjarak 2 m dan jarak antar pohon dalam barisan 50 cm.
Jumlah ternak 5 ekor per hektar. C. calothyrsus tampaknya mendapat keuntungan
dari jumlah ternak yang banyak setiap hektarnya karena akan mencegah pohon
tumbuh terlalu tinggi. Lokasi percobaan
memiliki rata-rata curah hujan tahunan 3399 mm, pH tanah 5,3 dan tingkat
kejenuhan aluminium sebesar 11%. Memang tidak bisa hanya mengandalkan hasil
penelitian dari satu pengalaman saja, tetapi beberapa penelitian lain
menunjukkan bahwa C. calothyrsus tahan pengurangan daun yang sering dan berat.
Kelihatannya sistem penggembalaan langsung dapat dilakukan, meskipun penelitian
lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui sistem pemanfaatan kaliandra
yang optimal (Palmer dan Ibrahim 1996).
Calliandra calothyrsus juga
bermanfaat untuk produksi ternak non ruminansia. Meskipun hanya sedikit
informasi tentang tingkat produktivitasnya, namun ada laporan dari Vietnam yang
menyatakan bahwa C. calothyrsus digunakan sebagai pakan ikan di kolam kecil.
Daunnya juga dapat digunakan sebagai pakan kelinci dalam jumlah yang terbatas
sebagai campuran pakan lain. Hasil yang baik telah diperoleh dari kelinci yang
diberi makanan pelet yang mengandung 30% daun C. calothyrsus kering (Wina dan
Tangendjaja, komunikasi pribadi.) Penambahan sedikit daun kaliandra untuk pakan
ayam petelur (0,6-2,5% dari makanan pokok) akan menghasilkan warna yang lebih
kuning pada kuning telur tanpa pengaruh negatif
pada jumlah terlur yang dihasilkan atau pada perbandingan konversi
nutrisi (Paterson dkk. 2000; Wina dan Tangendjaja, komunikasi pribadi).
Sistem produksi hijauan ternak
Tanaman yang tumbuh sendiri
Di Indonesia, di mana C.
calothyrsus sudah mengalami naturalisasi, pohon dapat ditemukan di kebun kayu,
di sepanjang tepi jalan, dan di tempat-tempat lainnya. Peternak dapat
mengumpulkan daunnya dan memberikan kepada ternaknya. Dalam kondisi seperti
ini, produktivitas pohon sangat beragam bergantung pada populasi pohon,
kesuburan tanah, frekuensi pemangkasan dan faktor-faktor lainnya.
Penanaman dalam barisan
Calliandra calothyrsus dapat
ditanam dalam satu atau beberapa barisan
di sepanjang batas lahan petani atau pada tanggul kontur, guludan teras atau tempat-tempat
yang serupa. Di banyak tempat, lokasi seperti ini dapat dimanfaatkan untuk
menanam kaliandra tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap tanaman pangan
didekatnya. Dalam barisan, pohon ditanam dengan jarak 40-50 cm. Hasilnya akan
beragam bergantung pada iklim, kesuburan tanah, dan faktor-faktor lainnya.
Di salah
satu lokasi penanaman di sub-Sahara Afrika, pohon yang umurnya lebih
dari dua tahun menghasilkan hijauan yang dapat dimakan sebanyak 3-5 kg bahan
kering per meter barisan per tahun (Paterson dkk. 1996).
Penanaman dalam petakan
Bila ditanam dalam petakan, C.
calothyrsus biasanya ditanam dengan
jarak 1 x 1 m atau 2 x 0,5 m, meskipun
jarak tanam dapat disesuaikan untuk penggunaan mesin. Hasil bahan kering daun
yang dapat dimakan berkisar antara 3-8 ton/ha. per tahun.
Tidak ada komentar:
Write comments