Senin, 11 Maret 2019

Produksi Hijau Ternak Kaliandra ( Seri 5 )


Meskipun dalam marga Calliandra terdapat beberapa jenis yang memiliki potensi  untuk produksi ternak, hampir semua evaluasi terhadap pemanfaatan Calliandra sebagai hijauan ternak masih terbatas pada satu jenis saja, yaitu C. calothyrsus (kaliandra merah). Pada  kondisi yang sesuai, C. calothyrsus cepat tumbuh dan dapat berperan penting dalam berbagai sistem produksi ternak. Di Indonesia, Zapoteca tetragona (kaliandra putih) juga digunakan sebagai hijauan ternak dan akan diuraikan secara ringkas pada akhir bab ini.
Ciri-ciri hijauan ternak 
Seperti kebanyakan hijauan ternak dari jenis pohon dan perdu lain, C. calothyrsus  kaya protein, tetapi kandungan energi yang dapat dicerna relatif rendah. Bagian yang dapat  dimakan mengandung 20-25% protein mentah sehingga sesuai sebagai tambahan protein bagi ternak yang makanan utamanya rumput atau jenis makanan lain yang kualitas proteinnya rendah. Namun pemberiannya sebaiknya dibatasi paling banyak 30-40% berat segar seluruh makanan, sebab jika lebih banyak, tidak akan dimanfaatkan seluruhnya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai gizi adalah kecernaanya, dan sejauh mana hijauan ternak dapat dicerna dan diserap oleh ternak. Kecernaan kaliandra sangat bervariasi, dari sekitar 30% sampai 60%. Hijauan ternak C. calothyrsus segar dapat meningkatkan berat badan ternak pedaging dan produksi susu pada sapi. Di Kenya, pemberian 3 kg daun kaliandra segar meningkatkan produksi susu yang setara dengan pemberian 1 kg bahan makanan komersial yang mengandung 16% protein mentah  (Paterson dkk. 1999). Penggantian konsentrat makanan komersial dengan daun kaliandra akan menghemat pengeluaran peternak, tetapi jumlah kaliandra yang diperlukan untuk menggantikan 1 kg makanan buatan bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya, bergantung pada banyak faktor khususnya mutu konsentrat. Jumlah yang diperlukan untuk ternak di Indonesia berbeda dengan di Kenya.
Pakan kering dulu dianggap lebih rendah mutunya, terutama karena hasil penelitian awal menunjukkan adanya penurunan kecernaan setelah daun dikeringkan (misalnya,  Mahyuddin dkk. 1988). Penelitian sering menggunakan daun dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C. Hasil penelitian terbaru (Palmer dkk. 2000) menunjukkan bahwa pengeringan pada suhu di atas 45°C memang banyak menurunkan tingkat kecernaan. Pengalaman menunjukkan bahwa pengeringan pada suhu yang lebih rendah, misalnya di udara terbuka pada kondisi alami (meskipun lebih baik dibawah naungan), tidak banyak menurunkan mutu daun. Pengeringan di bawah sinar matahari telah terbukti hanya sedikit pengaruh negatifnya terhadap penggunaan nitrogen (Lascano1, data tidak diterbitkan), kemungkinan karena daun banyak mengandung tanin (misalnya hampir dua kali kadar tanin Leucaena/lamtoro). Akan tetapi, bila  kaliandra  diberikan sebagai makanan tambahan, jumlah yang dimakan akan lebih banyak jika daunnya kering (Norton dan Ahn, 1997). Kemungkinan penurunan kualitas dapat diatasi denga cara berikut. Dilayukan selama beberapa jam, atau dikering anginkan di bawah naungan, lebih sedikit pengaruhnya terhadap mutu daripada pengeringan di bawah sinar  matahari. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diberikan rekomendasi singkat sebagai berikut. Jika pasokan daun kaliandra banyak dan mudah dikumpulkan, disarankan untuk pemberikan makanan segar. Daun yang layu selama beberapa jam tidak lagi dianggap merusak kualitas daun. Pengeringan di bawah naungan untuk penyimpanan dalam waktu yang lebih panjang (misalnya untuk digunakan selama musim kemarau) juga dapat dilakukan.
Bagaimanapun baiknya hijauan ternak terlihat di laboratorium, tidak akan ada gunanya jika tidak dimakan oleh ternak. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa C. calothyrsus disukai  oleh ternak ruminansia besar atau kecil, terutama setelah ada waktu penyesuaian. Namun dalam beberapa kasus, sapi enggan memakannya. Perbedaan tingkat kesukaan  terhadap hijauan ternak dipengaruhi oleh provenan dan lingkungan (di mana kaliandra ditanam). Kaliandra di Indonesia (yang berasal dari Guatemala) berkerabat dengan provenans Patulul  yang dikenal sebagai hijauan ternak yang bermutu dan disukai (Stewart dkk. 2000). Daun tanaman yang tumbuh di tanah yang subur lebih disukai daripada yang tumbuh di tanah masam (Lascano, data tidak diterbitkan). Seperti kebanyakan hijauan ternak jenis lain, ternak membutuhkan waktu penyesuaian sehingga terbiasa memakan kaliandra, sebelum digunakan sebagai bagian dari pakan sehari-hari. Meskipun C. calothyrsus terbukti cukup tahan terhadap hama dan penyakit di beberapa tempat di mana pengujian telah dilakukan, selalu saja ada potensi bahaya bila terlalu mengandalkan satu jenis tanaman saja, atau lebih buruk lagi bila hanya mengandalkan satu provenans dari dari satu jenis. Oleh sebab itu peternak disarankan untuk menanam C. calothyrsus bersama jenis tanaman hijauan ternak lain yang bermanfaat. Setiap jenis memiliki kelebihan dan kelemahan, dan peternak akan merasakan manfaat lebih besar jika menanam berbagai jenis hijauan yang dapat saling melengkapi.
Cara produksi pakan ternak
Ada dua sistem produksi yang bisa digunakan untuk memelihara  ternak  dengan menggunakan C. calothyrsus sebagai makanan tambahan: sistem pangkas dan angkat (cut-and-carry system) atau sistem penggembalaan langsung. Meskipun pengawetan daun C. calothyrsus dengan dikeringanginkan sekarang dianggap sebagai pilihan untuk pakan musim kemarau, alternatif lain untuk kedua sistem adalah  dengan teknik penundaan pemanenan pakan. Dengan  cara  ini  daun  dibiarkan  terkumpul  di pohon selama musim pertumbuhan dan kemudian dipanen pada musim kemarau, ketika mutu dan jumlah makanan pokok sedikit.
Dengan sistem pangkas dan angkut, pohon kaliandra dibiarkan tumbuh sampai ketinggian tertentu kemudian dipangkas. Kemudian tunas baru dipangkas secara berkala dan diberikan kepada ternak yang berada di tempat lain. Ketika hijauan ternak sangat banyak dan tumbuh sangat cepat, ternak akan memakan cabang-cabang yang hijau dan lunak yang diameternya mencapai sekitar 1 cm. Namun ketika tanaman tumbuh lebih lambat, cabang menjadi berkayu dan diameternya lebih kecil, dan ternak hanya akan memakan cabang-cabang yang diameternya lebih kecil dari 0,4 cm. Setelah ternak memakan daun dan ranting kecil (bagian yang bisa dimakan), sisa batangnya dapat dikeringkan dan digunakan sebagai kayu bakar. Pemangkasan batang sebaiknya tidak lebih rendah dari 30 cm di atas permukaan tanah, tetapi untuk menjamin produktivitas yang maksimum frekuensi pemangkasan akan  lebih penting daripada ketinggian pemangkasan. Untuk mengoptimumkan nilai gizi hijauan ternak, pemangkasan sebaiknya dilakukan jika tunas baru sudah mencapai ketinggian sekitar 100 cm. Saat itu, bagian yang dapat dimakan mencapai 50-60 % dari biomassa total. Umumnya cara pemangkasan seperti ini dapat dilakukan empat sampai enam kali setahun. Selama musim hujan, kaliandra dapat dipangkas setiap enam minggu sekali tanpa mengalami penurunan produktivitas dan kualitas.
Hanya ada sedikit informasi tentang pemanfaatan C. calothyrsus dalam sistem penggembalaan langsung. Kayunya rapuh, dan cabang dapat patah ketika tertarik. Selain itu, jika ternak



mengunyah kulit kayu dari batang pohon, maka pohonnya akan mati. Akan tetapi hasil positif telah dilaporkan dari Queensland Utara, Australia dari penggembalaan langsung selama dua tahun (Palmer dan Cooksley, komunikasi pribadi2). Benih Calliandra calothyrsus ditanam langsung pada penggembalaan yang sudah ditumbuhi oleh Brachiaria decumbens. Barisan tanaman berjarak 2 m dan jarak antar pohon dalam barisan 50 cm. Jumlah ternak 5 ekor per hektar. C. calothyrsus tampaknya mendapat keuntungan dari jumlah ternak yang banyak setiap hektarnya karena akan mencegah pohon tumbuh terlalu tinggi. Lokasi percobaan  memiliki rata-rata curah hujan tahunan 3399 mm, pH tanah 5,3 dan tingkat kejenuhan aluminium sebesar 11%. Memang tidak bisa hanya mengandalkan hasil penelitian dari satu pengalaman saja, tetapi beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa C. calothyrsus tahan pengurangan daun yang sering dan berat. Kelihatannya sistem penggembalaan langsung dapat dilakukan, meskipun penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui sistem pemanfaatan kaliandra yang optimal (Palmer dan Ibrahim 1996).
Calliandra calothyrsus juga bermanfaat untuk produksi ternak non ruminansia. Meskipun hanya sedikit informasi tentang tingkat produktivitasnya, namun ada laporan dari Vietnam yang menyatakan bahwa C. calothyrsus digunakan sebagai pakan ikan di kolam kecil. Daunnya juga dapat digunakan sebagai pakan kelinci dalam jumlah yang terbatas sebagai campuran pakan lain. Hasil yang baik telah diperoleh dari kelinci yang diberi makanan pelet yang mengandung 30% daun C. calothyrsus kering (Wina dan Tangendjaja, komunikasi pribadi.) Penambahan sedikit daun kaliandra untuk pakan ayam petelur (0,6-2,5% dari makanan pokok) akan menghasilkan warna yang lebih kuning pada kuning telur tanpa pengaruh negatif  pada jumlah terlur yang dihasilkan atau pada perbandingan konversi nutrisi (Paterson dkk. 2000; Wina dan Tangendjaja, komunikasi pribadi).

Sistem produksi hijauan ternak
Tanaman yang tumbuh sendiri
Di Indonesia, di mana C. calothyrsus sudah mengalami naturalisasi, pohon dapat ditemukan di kebun kayu, di sepanjang tepi jalan, dan di tempat-tempat lainnya. Peternak dapat mengumpulkan daunnya dan memberikan kepada ternaknya. Dalam kondisi seperti ini, produktivitas pohon sangat beragam bergantung pada populasi pohon, kesuburan tanah, frekuensi pemangkasan dan faktor-faktor lainnya.
Penanaman dalam barisan
Calliandra calothyrsus dapat ditanam  dalam satu atau beberapa barisan di sepanjang batas lahan petani atau pada tanggul kontur, guludan teras atau tempat-tempat yang serupa. Di banyak tempat, lokasi seperti ini dapat dimanfaatkan untuk menanam kaliandra tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap tanaman pangan didekatnya. Dalam barisan, pohon ditanam dengan jarak 40-50 cm. Hasilnya akan beragam bergantung pada iklim, kesuburan tanah, dan faktor-faktor lainnya. Di  salah  satu lokasi penanaman di sub-Sahara Afrika, pohon yang umurnya lebih dari dua tahun menghasilkan hijauan yang dapat dimakan sebanyak 3-5 kg bahan kering per meter barisan per tahun (Paterson dkk. 1996).
Penanaman dalam petakan
Bila ditanam dalam petakan, C. calothyrsus biasanya ditanam  dengan jarak 1 x 1 m  atau 2 x 0,5 m, meskipun jarak tanam dapat disesuaikan untuk penggunaan mesin. Hasil bahan kering daun yang dapat dimakan berkisar antara 3-8 ton/ha. per tahun.

Tidak ada komentar:
Write comments