Terkait dengan
pengembangan pakan, diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku pakan
lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku pakan. Secara
umum untuk pengembangan pakan memiliki permasalahan, antara lain: (a) kebutuhan
bahan baku pakan tidak seluruhnya dipenuhi dari lokal sehingga masih
mengandalkan impor, (b) bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara
optimal, (c) ketersediaan pakan lokal tidak kontinu dan kurang berkualitas, (d)
penggunaan tanaman legum sebagai sumber pakan belum optimal, (e) pemanfaatan
lahan tidur dan lahan integrasi masih rendah, (f) penerapan teknologi hijauan
pakan masih rendah, (g) produksi pakan nasional tidak pasti akibat akurasi data
yang kurang tepat, serta (h) penelitian dan aplikasinya tidak sejalan (Syamsu
dan Abdullah 2009).
Limbah pertanian tidak
semuanya dimanfaatkan oleh petani, penyebabnya adalah : a) umumnya petani
membakar limbah tanaman pangan karena secepatnya akan dilakukan pengolahan
tanah, b) limbah tanaman pangan bersifat kamba sehingga menyulitkan peternak
untuk mengangkut dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada ternak, dan umumnya
lahan pertanian jauh dari pemukiman peternak sehingga membutuhkan biaya dalam
pengangkutan, c) tidak tersedianya tempat penyimpanan limbah tanaman pangan,
dan peternak tidak bersedia menyimpan/menumpuk limbah di sekitar rumah/kolong
rumah karena takut akan bahaya kebakaran, d) peternak menganggap bahwa
ketersediaan hijauan di lahan pekarangan, kebun, sawah masih mencukupi sebagai
pakan ternak (Liana dan Febriana 2011). Pengembangan peternakan sangat terkait
dengan pengembangan suatu wilayah. Sulawesi Selatan sebagai salah satu provinsi
di Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan peternakan. Daerah
ini pernah dikenal sebagai lumbung ternak, dengan kemampuan memasok ternak ke
daerah lain dalam rangka pengadaan ternak nasional (Syamsu et al. 2003). Hal inilah yang melatar belakangi dibuatnya makalah
seminar studi pustaka yang berjudul Pengelolaan
Limbah Tanaman Jagung Sebagai Pakan Ternak Sapi
Potong Pada Musim Kemarau.
Ada beberapa istilah lokal Indonesia/daerah untuk berbagai macam limbah tanaman jagung
atau hasil samping industri
berbasis bahan dasar jagung. Istilah-istilah ini
perlu diketahui agar tidak terjadi kesalahan dalam
menyusun ransum/pakan konsentrat untuk ruminansia.
Tebon jagung adalah seluruh
tanaman jagung termasuk batang,
daun dan buah jagung muda yang umumnya
dipanen pada umur tanaman 45 – 65 hari (Soeharsono
dan Sudaryanto, 2006). Ada pula yang menyebut tebon jagung tanpa
memasukkan jagung muda ke
dalamnya. Biasanya petani jagung seperti
ini bekerja sama dengan peternak besar; petani hanya
menanam jagung sebagai hijauan dan pada umur tertentu
(masih dalam tahap baru berbuah atau tahap buah
muda) seluruh tanaman jagung dipangkas dan dicacah
untuk diberikan langsung ke ternak dan atau dimasukkan
ke dalam tempat tertutup untuk dibuat silase.
Jerami jagung/brangkasan adalah
bagian batang dan daun jagung
yang telah dibiarkan mengering di ladang
dan dipanen ketika tongkol jagung dipetik. Jerami
jagung seperti ini banyak diperoleh di daerah sentra
tanaman jagung yang ditujukan untuk menghasilkan
jagung bibit atau jagung untuk keperluan industri
pakan; bukan untuk dikonsumsi sebagai sayur (MARIYONO
et al., 2004).
Kulit buah jagung/klobot
jagung adalah
kulit luar buah jagung yang biasanya dibuang.
Kulit jagung manis sangat
potensial untuk dijadikan silase karena kadar
gulanya cukup tinggi (ANGGRAENY et al.,2006).
Tongkol jagung/janggel adalah
limbah yang diperoleh ketika
biji jagung dirontokkan dari buahnya. Akan
diperoleh jagung pipilan sebagai produk utamanya
dan sisa buah yang disebut tongkol atau janggel
(ROHAENI et al., 2006). Selain
limbah tanaman jagung, hasil samping dari industri
jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan
ternak. Industri berbasis bahan dasar biji jagung di
Indonesia masih terbatas sehingga limbah industri yang
dihasilkan juga terbatas. Sedangkan di luar negeri, hasil samping industri jagung semacam
ini lebih beragam
tergantung dari sistem penggilingan dan proses dalam
industri tersebut. Istilah hasil/produk samping industri
ini masih dalam bahasa asing, tetapi beberapa produk
seperti CGM, DDGS sudah di impor ke Indonesia
dan sudah mulai digunakan untuk bahan pakan
konsentrat ruminansia ataupun pakan unggas. Hasil
samping dari industri berbasis jagung di Indonesia menurut PAMUNGKAS et al. ,(2004). adalah:
- Tumpi adalah
hasil samping yang dihasilkan pada saat pemipilan/perontokan biji jagung selain
tongkol dan
merupakan bagian pangkal dari biji jagung. Tumpi bersifat kamba (bulky)
- Homini
(empok) adalah hasil samping dari industri jagung semolina yaitu
hasil samping dari penggilingan
jagung secara kering (dry milling). Terdiri dari germ yang sudah diekstrak minyaknya, endosperm dan
kulit luar yang masih menempel pada fraksi ini.
Hasil
samping dari industri jagung yang ada
di luar negeri (SAUVANT et al., 2004) adalah:
- Corn distiller’s adalah
hasil samping dari proses distilasi
jagung yang terdiri dari biji-biji sisa dan bahan terlarut dalam proporsi yang
bervariasi.
- Corn gluten feed (CGF)
adalah hasil samping dari industri
pati jagung yang dihasilkan dari proses penggilingan basah (wet milling).
Terdiri dari campuran dedak,
gluten dan kadang-kadang tercampur dengan bahan konsentrat terlarut dan corn germ.
Bahan ini mengandung
serat yang mudah tercerna cukup tinggi.
- Corn gluten meal (CGM)
adalah hasil samping dari
industri pati jagung yang dihasilkan dari proses penggilingan basah (wet
milling). Terdiri dari gluten yang diperoleh ketika pati dipisahkan.
Mempunyai warna
yang sangat kuning karena mengandung kadar xantofil yang cukup tinggi untuk pewarna kuning
telur.
- Proteinnya merupakan bypass
protein yang tinggi. Maize/corn
bran (dedak jagung) adalah hasil samping dari industri tepung
jagung atau ”semolina”. Terdiri
dari bagian luar biji jagung sebagai komponen utama yang tercampur dengan
beberapa fragmen germ dan partikel endosperm.
- Maize feed flour adalah
hasil samping dari industri tepung jagung atau semolina. Terdiri
dari endosperm sebagai
komponen utama, fragmen germ dan kulit luar.
- Maize germ meal, expeller adalah
hasil samping dari
industri minyak jagung. Terdiri dari bungkil (minyak diekstrak secara mekanik) yang masih
ada endosperm dan
kulit luarnya. Maize
germ meal, solvent extracted adalah hasil samping dari industri minyak
jagung. Terdiri dari bungkil
(minyak diekstrak dengan pelarut organik) yang masih ada endosperm dan kulit
luarnya.
- Distiller’s dried grains with
solubles (DDGS) adalah hasil samping dari
industri bioetanol. Merupakan campuran dari bahan terlarut dan bahan padatan
yang dikeringkan.
Fraksi terlarut adalah fraksi cairan setelah alkohol dipisahkan dengan penguapan dan bahan padatan adalah sisa padatan
yang dipisahkan setelah fermentasi
perubahan pati menjadi alkohol berlangsung.
Beberapa hasil samping seperti CGM, DDGS dan CGF sudah masuk ke Indonesia, tetapi
ketiga produk ini lebih banyak
digunakan oleh pabrik pakan untuk campuran
pakan ayam pedaging atau petelur. Saat ini, DDGS
sudah mulai diperkenalkan dan digunakan sebagai
campuran pakan konsentrat oleh beberapa feedlot
di
Indonesia (METI, komunikasi pribadi).
Penggunaan limbah tanaman jagung sebagai pakan dalam bentuk segar adalah yang
termudah dan termurah tetapi
pada saat panen hasil limbah tanaman jagung
ini cukup melimpah maka sebaiknya disimpan untuk
stok pakan pada saat musim kemarau panjang atau
saat kekurangan pakan hijauan. Di Indonesia, kebanyakan
petani akan memberikan tanaman jagung secara
langsung kepada ternaknya tanpa melalui proses. Jerami jagung selain diberikan dalam bentuk segar,
dapat dikeringkan atau
diolah menjadi pakan awet seperti pelet, cubes dan disimpan untuk cadangan
pakan ternak (Nulik et al., 2006).
Sedangkan di Amerika dan negara lain seperti Argentina
dan Brazil yang merupakan negara produsen jagung,
limbah jagung sangat berlimpah (Mccutcheon dan Samples, 2002).
Pengolahan limbah jagung merupakan hal yang diperlukan agar
kontinuitas pakan terus
terjamin. Walaupun sebagian besar limbah tersebut
diberikan kepada ternak dengan cara menggembalakan
ternak langsung di areal penanaman setelah
jagung dipanen, namun sebagian limbah tersebut diproses
atau disimpan dengan cara dibuat hay (menjadi jerami jagung kering) atau diawetkan dalam bentuk silase sebagai pakan cadangan
(Mccutcheon dan
Samples, 2002).
Hay dengan mudah
dibuat dengan membiarkan sisa
panen jagung di bawah terik matahari sehingga
diperoleh jerami jagung yang kering, Di luar negeri
yang jumlah limbahnya setelah panen sangat melimpah
dan waktu panen sudah mendekati musim dingin,
maka pembuatan hay harus menggunakan mesin
pengering. Setelah kering, hay dikumpulkan dan dipadatkan menyerupai gelondongan
kemudian ditutup dengan
plastik agar tidak kehujanan untuk digunakan sebagai
persediaan pakan selama musim dingin. Penyimpanan
hay di tempat kering merupakan hal yang harus
dipraktekkan. Kondisi yang panas dan lembab di Indonesia
sangat memudahkan tumbuhnya jamur pada hay
yang
menjadi basah bila penyimpanannya kurang baik.
Limbah jagung yang dapat dibuat silase adalah seluruh tanaman termasuk buah mudanya
atau buah yang hampir
matang atau limbah yang berupa tanaman jagung
setelah buah dipanen dan kulit jagung. Tanaman jagung
yang tersisa dari panen jagung masih cukup tinggi
kadar airnya. Untuk pembuatan silase, dibutuhkan
kadar air sekitar 60%. Oleh sebab itu, tanaman
jagung harus dikeringkan sekitar 2 – 3 hari. Limbah
dipotong menjadi potongan-potongan kecil lalu dimasukkan
sambil dipadatkan sepadat mungkin ke dalam
kantong-kantong plastik kedap udara atau dalam silo-silo
yang berbentuk bunker (Nusio, 2005).
Bila dalam
proses pembuatan silase suasana kedap udara tidak
100% maka bagian permukaan silase sering terkontaminasi
dan ditumbuhi oleh bakteri lain yang merugikan
seperti bakteri Clostridium tyrobutyricum yang mampu mengubah asam laktat
menjadi asam butirat (Driehuis
dan Giffel, 2005). Bila
seluruh tanaman jagung termasuk buahnya dibuat
menjadi silase maka karbohidrat terlarut yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan bakteri sudah mencukupi.
Bila yang dibuat silase hanya jerami jagung
atau kulit jagung, maka perlu ditambahkan molases
sebagai sumber karbohidrat terlarut atau dapat pula
ditambahkan starter (bakteri atau campurannya) untuk mempercepat terjadinya silase.
Mikroba yang ditambahkan
biasanya bakteri penghasil asam laktat seperti
Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei, Lactobacillus lactis, Lactobacillus
bucheneri, Pediocococcus
acidilactici, Enterococcus faecium, yang menyebabkan pH silase cepat turun (Nusio,
2005). Proses silase akan memakan waktu kurang
lebih 3 minggu bila tidak ditambah starter.
Produk silase jagung yang baik
atau sudah jadi ditandai dengan bau yang
agak asam karena pH silase biasanya rendah (sekitar
4) dan berwarna coklat muda karena warna hijau
daun dari khlorofil akan hancur sehingga limbah menjadi
kecoklatan. Bila ditambah molases, silase yang dihasilkan
agak berbau sedikit harum. Walaupun baunya
agak asam, akan tetapi cukup palatabel bagi ternak.
Silase merupakan proses yang sangat umum dilakukan di negara-negara yang
mempunyai 4 musim karena
pada musim dingin, tidak tersedia stok rumput segar
untuk diberikan ternak. Banyak sekali penelitian yang
telah dilaporkan untuk melihat pengaruh jenis tanaman
jagung, ukuran cacahan, umur panen, dan sebagainya.
terhadap kualitas silase maupun performans
ternak (Johnson et al., 2003; NEYLON dan Kung,
2003), namun sampai saat ini proses adopsi teknologi
ini tetap saja rendah di tingkat peternak padahal
di Indonesia terutama di daerah Indonesia bagian
Timur sering terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan
kekurangan pakan berkualitas. Kendala yang
dihadapi kemungkinan adalah tidak adanya ruang penyimpanan
yang memadai. Bila silase dibuat dalam kantong
plastik, dibutuhkan suasana kedap udara dan plastik
tidak boleh robek atau bocor. Gigitan tikus biasanya
merupakan penyebab utama kantong plastik robek/bocor.
Kendala lain adalah tidak adanya tambahan
modal untuk menyediakan/membeli kantong plastik
atau ember/drum plastik.
Kurangnya waktu untuk
membuat silase karena petani biasanya sibuk untuk
mengeringkan hasil panen biji-biji jagung terlebih
dahulu. Selain dibuat hay dan silase,
limbah jagung dapat juga
diamoniasi. Amoniasi dapat dilakukan sebelum dibuat
silase dengan menambahkan urea sebanyak 34 gr per kg limbah. Literatur mengenai proses
amoniasi jerami jagung masih terbatas, sebaliknya
amoniasi telah sering dilakukan untuk limbah
pertanian yang lain misalnya
jerami padi. Sifat basa dalam proses amoniasi akan
membengkakkan serat/memotong ikatan glikosida di
dalam selulosa (proses swelling) sehingga serat menjadi mudah dihancurkan oleh
mikroba-mikroba di dalam
rumen.
Proses
fermentasi juga telah dilakukan terhadap limbah
tanaman jagung. Pamungkas et al. (2006) menggunakan
Pleurotus flabelatus untuk fermentasi jerami
jagung. Jamur Pleurotus merupakan jamur pembusuk
putih (white rot fungi). Jamur ini dapat mengeluarkan
enzim-enzim pemecah selulosa dan lignin
sehingga kecernaan bahan kering jerami jagung akan
meningkat. Sedangkan Rohaeni et al. (2006a) menggunakan Trichoderma virideae untuk memfermentasi tongkol jagung. Sebelum
proses fermentasi dilakukan, diperlukan mesin
penghancur/ penggiling
tongkol jagung sehingga diperoleh ukuran partikel
tongkol jagung sebesar butiran biji jagung. Jamur Trichoderma termasuk jamur
penghasil selulase sehingga
banyak digunakan untuk memfermentasi limbah-limbah
pertanian. Tongkol dicampur dengan jamur
Trichoderma dan dibiarkan selama 4 – 7 hari dalam
tempat tertutup. Fermentasi biasanya akan meningkatkan
nilai nutrisi atau nilai kecernaan bahan kering
suatu bahan serta dapat pula menyebabkan bahan
menjadi lebih palatabel bagi ternak.
Tanaman jagung termasuk
tanaman monokotil dari
genus Zea yang tumbuh dengan baik pada tanah yang bertekstur latosal dengan tingkat kemiringan 5 – 8%, keasaman 5,6 – 7,5
serta suhu antara 27 – 32ºC
(AZRAI et al., 2007). Selain buah atau bijinya,
tanaman jagung menghasilkan limbah dengan proporsi
yang bervariasi dengan proporsi terbesar adalah
batang jagung (stover) diikuti dengan daun,tongkol dan kulit buah jagung.
Nilai
palatabilitas yang diukur secara kualitatif menunjukkan
bahwa daun dan kulit jagung lebih disukai
oleh ternak dibandingkan dengan batang ataupun
tongkol (Wilson et al., 2004). Nilai proporsi limbah
yang hampir sama dilaporkan oleh Anggraeny dkk.
(2006) yaitu limbah dari beberapa varietas jagung yang
dikembangkan oleh Balai Penelitian Jagung dan Serealia,
Maros. Proporsi batang bervariasi antara 55,38
– 62,29%, proporsi daun antara 22,57 – 27,38% dan
proporsi klobot antara 11,88 – 16,41%. Dalam studi
Anggraeny dkk. (2006), tongkol jagung tidak diperhitungkan
dalam proporsi limbah.
Hal
pertama yang harus diperhatikan dalam pemberian
limbah tanaman jagung termasuk tongkol untuk
ternak adalah kontaminasi jamur. Jamur akan cepat
tumbuh pada suasana lembab dan panas seperti kondisi
di Indonesia terlebih bila proses pengeringan jerami/tongkol
jagung tidak berjalan dengan baik. Jamur
yang paling sering ditemukan pada biji jagung dan
limbahnya adalah jamur Aspergillus dan Fusarium. Jamur-jamur
ini akan menghasilkan toksin yang berbahaya
bagi ternak dan manusia yang mengkonsumsi
produk ternak tersebut. Mikotoksin yang
sering ditemukan adalah aflatoksin yang dihasilkan
oleh Aspergillus flavus dan fumonisin yang dihasilkan
oleh jamur Fusarium moniliforme, deoxynivalenol
dan zearalenon yang dihasilkan oleh Fusarium
graminearum (Trung et al., 2008; Tangendjaja
et al., 2008). Direktorat
Jenderal Peternakan telah menetapkan standar
maksimum kadar aflatoksin pakan ruminansia adalah
sebesar 100 – 200 ppb (Suparto,
2004).
Standar
ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar
maksimum kadar aflatoksin dalam pakan unggas
terutama itik. Standar maksimum yang cukup tinggi
ini serta kurang adanya laporan mengenai terjadinya
kasus aflatoksikosis pada ternak ruminasia menyebabkan,
perhatian terhadap mikotoksin untuk pakan
ruminansia masih sangat sedikit atau hampir tidak
ada sama sekali. Standar maksimum kadar aflatoksin
dalam pakan sapi perah mungkin sebaiknya direvisi dan harus
lebih kecil karena sekarang Codex (FAO/WHO
Food Standards) telah menetapkan standar maksimum
kontaminan aflatoksin di dalam susu
adalah 0,05 ppb (Codex,
2007).
Nilai
nutrisi dari limbah tanaman dan hasil samping
industri jagung sangat bervariasi (Tabel 1). Kulit jagung mempunyai nilai
kecernaan bahan kering
in vitro yang tertinggi (68%) sedangkan batang jagung
merupakan bahan yang paling sukar dicerna di dalam
rumen (51%) (Mcctucheon dan
Samples, 2002). Nilai kecernaan kulit jagung dan
tongkol (60%) ini hampir sama
dengan nilai kecernaan rumput Gajah sehingga
kedua bahan ini dapat menggantikan rumput Gajah
sebagai sumber hijauan. Total nutrien tercerna (TDN)
yang tertinggi terkandung pada silase tanaman jagung
termasuk buah yang matang sedangkan yang terendah
dijumpai pada tongkol (Tabel 2). Faktor yang penting
dalam menyusun ransum komplit adalah nilai TDN.
Kebutuhan TDN untuk penggemukan sapi potong
maupun sapi perah cukup tinggi dan syarat minimum
TDN dapat dilihat dalam NRC (2001).
Tabel 1. Proporsi Limbah Tanaman Jagung, Kadar Protein Kasar
Dan Nilai Kecernaan Bahan Keringnya
Limbah jagung
|
Kadar air
(%)
|
Proporsi
limbah (%)
|
Protein kasar
(%)
|
Kecernaan BK
in vitro (%)
|
Palatabilitas
(%)
|
Batang
|
70 – 75
|
50
|
3,7
|
51
|
Rendah
|
Daun
|
20 – 25
|
20
|
7,0
|
58
|
Tinggi
|
Tongkol
|
50 – 55
|
20
|
2,8
|
60
|
Rendah
|
Kulit jagung
|
45 - 50
|
10
|
2,8
|
68
|
Tinggi
|
Sumber: Mccutcheon
dan
Samples (2002); Wilson et al. (2004)
Tabel 2. Komponen Kimia dan Nutrisi Limbah Tanaman Jagung
Jenis
Limbah
|
BK TDN
PK UIP SK
ADF NDF LK
Abu Ca P
|
----------------------------------%-----------------------------------
|
|
Jerami jagung (corn fodder)
|
80
67 9 45
25 29 48
2,4 7 0,50 0,25
|
Batang jagung tua (corn stover/stalk, mature)
|
80
59 5 30
35 44 70
1,3 7 0,35
0,19
|
Silase
tanaman jagung termasuk buah muda
(corn silage, milk stage)
|
26
65 8 18
26 32 54 2,8
6 0,40 0,27
|
Silase
tanaman jagung termasuk buah yang sudah matang (corn
silage, mature
well eared)
|
34 72 8
28 21 27 46 3,1 5 0,28 0,23
|
Silase tanaman jagung manis (corn silage, sweet
corn)
|
24
65 11 t a d
20 32 57
5,0 5 0,24
0,26
|
Tongkol (corn cobs)
|
90
48 3 70
36 39 88
0,5 2 0,12 0,04
|
TDN = Total
Digestible Nutrient (total nutrien tercerna)
UIP
= Undegradable Insoluble Protein (protein tak larut dan tidak
terdegradasi; dalam rumen)
ADF
= Acid Detergent Fiber (serat deterjen asam)
NDF
= Neutral Detergent Fiber (serat deterjen netral)
t
a d = tidak ada data
Sumber: Preston (2006).
Selain nilai TDN yang rendah, tongkol jagung juga mempunyai kadar protein terendah
dibandingkan dengan bahan
lainnya sedangkan silase tanaman jagung manis
mempunyai kandungan protein yang tertinggi. Untuk
jerami jagung yang dikembangkan di Sulawesi Selatan,
kadar protein kasar berkisar antara 3,78 sampai 5,37%
(Tabel 3) yang menunjukkan bahwa jerami jagung
tidak dapat digunakan sebagai pensuplai protein bagi
ternak. Tongkol jagung mempunyai kadar protein yang
paling rendah yaitu 3% tetapi 70% dari nilai tersebut
merupakan protein tidak tercerna di dalam rumen
(UIP). Sebaliknya, tongkol dan batang jagung mempunyai
kandungan serat NDF yang paling tinggi dibandingkan
dengan limbah lainnya. Untuk jagung yang
dikembangkan di Balai Penelitian Serealia kadar serat (NDF) jerami jagung
tertinggi terdapat pada
jenis Maros sintetik (73,58%) dan yang terendah pada
jenis S99TLYQGH-AB (61,11%). Bila buah jagung
yang masih muda dipanen (jagung semi), jerami jagung
yang tersisa akan mempunyai kadar protein yang
sedikit lebih tinggi, kadar serat (NDF dan ADF) yang
lebih kecil dari pada jerami jagung yang berumur 100
hari. Jadi tongkol maupun batang jagung merupakan
sumber serat yang baik tetapi pemakaiannya
sangat terbatas karena nilai TDN cukup rendah
dibandingkan dengan bagian lainnya.
Table
3. kandungan zat gizi jerami jagung beberapa varian (umur 100 hari) di jawa
timur dan sulawesi selatan
Nama
varietas (asal)
|
BK
|
BO
|
PK
|
LK
|
SK
|
NDF
|
ADF
|
||||
------------------------------%--------------------------------
|
|||||||||||
Bisi
kering (jatim)
|
83,04
|
88,70
|
4,46
|
0,85
|
33,12
|
t
a d
|
t
a d
|
||||
NK
kering (jatim)
|
83,20
|
91,78
|
5,37
|
0,60
|
31,73
|
t
a d
|
t
a d
|
||||
Arjuna
kering (jatim)
|
83,54
|
91,60
|
4,9
|
0,86
|
31,11
|
t
a d
|
t
a a
|
||||
S99TLYQGH-AB (Sulsel)
|
43,24
|
85,04
|
4,89
|
0,55
|
33,80
|
61,11
|
45,18
|
||||
Pozarica 8365 (Sulsel)
|
46,85
|
84,14
|
3,78
|
0,64
|
34,96
|
62,48
|
43,42
|
||||
Across 8666 (Sulsel)
|
47,61
|
83,86
|
4,63
|
0,65
|
29,14
|
71,61
|
42,30
|
||||
S98TLWQ-FLD (Sulsel)
|
44,86
|
83,39
|
4,41
|
0,69
|
30,00
|
71,20
|
43,00
|
||||
POP63C2QPMLTV (Sulsel)
|
46,83
|
83,24
|
4,87
|
0,69
|
29,02
|
71,95
|
43,67
|
||||
Maros
sintetik (sulsel)
|
48,00
|
83,62
|
4,32
|
0,77
|
29,16
|
73,58
|
44,60
|
||||
Jerami jagung
|
33,00
|
93,00
|
5,00
|
T
a d
|
T
a d
|
63,10
|
39,80
|
||||
T a d = tidak
ada data
Sumber : ANGGRAENY et al. (2005)
dan NOUALA et al. (2004)
Jerami jagung yang kering ataupun yang dibuat silase tidak dapat digunakan sebagai
sumber karotenoid karena
kandungan karotenoidnya sangat rendah yaitu 70
– 80 mg/kg, terdiri dari 3 – 10 mg/kg epilutein, 25 – 37 mg/kg lutein, 6 – 10 mg/kg
zeaxanthin, 24 – 35 mg/kg
β- karoten (Noziere
et
al., 2006).
Dapat disimpulkan bahwa limbah perkebunan jagung bukanlah pakan yang berkualitas
baik karena mengandung kadar
protein dan karotenoid yang rendah dan
kadar serat yang tinggi. Bila limbah perkebunan ini diberikan kepada ternak tanpa
disuplementasi atau diberi
perlakuan sebelumnya maka nutrisi limbah ini tidak
akan cukup untuk mempertahankan kondisi ternak.
Oleh sebab itu, disarankan pencampuran jerami jagung
dengan leguminosa sebagai sumber protein ketika
akan diberikan ke ternak atau bila hendak dibuat silase
(Kaiser and Piltz, 2002).
(Penulis Khaerun Nur Karimuddin, Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin, Makassar, 2015)
DAFTAR
PUSTAKA
Anggraeny, Y.N., U. Umiyasih dan N.H. Krishna. 2006. Potensi limbah jagung siap rilis sebagai
sumber hijauan sapi potong. Pros. Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan
Sistem Integrasi Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbang
Peternakan, Bogor. hlm. 149 – 153.
Azrai, M., M.J. Mejaya dan M. Yasin. 2007. Pemuliaan jagung khusus. Dalam: Jagung: Teknik Produksi dan
Pengembangan. Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H. Kasim (Eds.).
Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 96 – 109.
Codex. 2007. Codex general
standard for contaminants and mycotoxin in foods. Codex Stan 193 – 1995,
Rev. 3 – 2007.
Driehuis, F. and M.C. Giffel. 2005. Butyric acid bacteria spores in whole crop maize silages. In: Silage
Production and Utilization. PARK, R.S. and M.D. STRONGE (Eds.), Wageningen
Academic Publ. The Netherlands pp 271.
Johnson, L. M., J. H. Harrison, D. Davidson, C. Hunt, W. C. Mahanna
and K. Shinners. 2003. Corn silage
management: Effects of hybrid, maturity, chop length, and mechanical processing
on rate and extent\ of digestion. J. Dairy Sci. 86: 3271 – 3299
Kaiser, A.G. and J.W. Piltz. 2002. Silage production from tropical forages in Australia. Presented at
the XIIIth International Silage Conference, 11 – 13th September, 2002.
http://www.fao.org/ag/AGP/AGPC/ doc/silage/ kaiserpaper/kaisersilage.htm. (12
februari 2015).
Liana dan Febriana. 2011. Pemanfaatan
Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia pada Peternak Rakyat di Kec. Rengat
Barat Kab. Inragiri Hulu. Fakultas Pertanian Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (28-37)
Mariyono, U. Umiyasih, Y. Anggraeny dan M. Zulbardi. 2004. Pengaruh substitusi konsentrat komersial
dengan tumpi jagung terhadap performans sapi PO bunting muda. Pros. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004.
Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 97 – 101.
Mccutcheon, J. and D. Samples. 2002. Grazing Corn Residues. Extension Fact Sheet Ohio State University
Extension. US. ANR10-02
Neylon, J.M. and L. Kung JR. 2003. Effects of cutting height and maturity on the nutritive value of corn
silage for lactating cows. J. Dairy Sci. 86: 2163 – 2169.
Nouala, F.S., O.O. Akinbamijo, O.B. Smith and V.S. Pandey. 2004. Horticultural residue area of the Gambia.
Lives. Res. Rur. Dev. 16, Art#37.
Noziere, P., B. Graulet, A. Lucas, B. Martin, P. Grolier and M. Doreau.
2006. Carotenoid for ruminants: From
forages to dairy products. Anim. Feed Sci.Tech. 131: 418 – 450
NRC, 2001. Nutrient
Requirement for Dairy Cattle. 7th Revised Edition
Nulik, J., D. Kanahau dan E.Y. Hosang. 2006. Peluang dan prospek integrasi jagung dan ternak di Nusa Tenggara Timur.
Pros. Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung – Sapi.
Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 253 – 260.
Nusio, L.G. 2005. Silage
production from tropical forages. In: Silage Production and Utilization.
PARK, R.S. and M.D. STRONGE (Eds.). Wageningen Academic Publ., the Netherlands.
pp. 97 – 107
Pamungkas, D., E. Romjali dan Y.N. Anggraeny. 2006. Peningkatan mutu biomas jagung menunjang
penyediaan pakan sapi potong sepanjang tahun. Pros. Lokakarya Nasional
Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus
2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 142 – 148
Pamungkas, D., U, Umiyasih, YN Anggraeny, N.H.Krishna, L. Affandhy,
Mariyono dan M.Zulbandi. 2004. Teknologi Peningkatan
Mutu Biomas Lokal untuk Penyediaan Pakan Sapi Potong. Laporan Akhir. Loka
Penelitian Sapi Potong, Grati.
Preston, R.L. 2006. Feed
Composition Tables. http://beefmag.com/mag/beef_feed_composition. (12 februari 2015).
Rohaeni, E.S., N. Amali dan A. Subhan. 2006a. Janggel jagung fermentasi sebagai pakan alternatif untuk ternak sapi
pada musim kemarau. Pros. Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem
Integrasi Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan,
Bogor. hlm. 193 – 196.
Rohaeni, E.S., A. Subhan dan A. Darmawan. 2006b. Kajian penggunaan pakan lengkap dengan
memanfaatkan janggel jagung terhadap pertumbuhan sapi. Pros. Lokakarya
Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi. Pontianak, 9 – 10
Agustus 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 185 – 192
Sauvant, D., J.M. Perez and G. Tran. 2004. Tables of Composition and Nutritional Value of Feed Materials. 2nd
Edition, INRA. Wageningen Academic Publishers. pp. 118 – 133
Soeharsono dan B. Sudaryanto. 2006. Tebon jagung sebagai sumber hijauan pakan ternak strategis di lahan
kering Kabupaten Gunung Kidul. Pros. Lokakarya Nasional Jejaring
Pengembangan Sistem Integrasi Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006.
Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 136 – 141.
Subandi, 2005. Kebutuhan
Benih Jagung di Indonesia. Materi
Sosialisasi Produksi dan Distribusi Benih Unggul Jagung Nasional. Balai
Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia lainnya di Maros Sulawesi.
Suparto, D.A.H. 2004. Situasi
cemaran mikotoksin pada pakan di Indonesia dan perundang-undangannya. Pros.
Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Bogor, 20 – 21 April 2004.
Puslitbang Peternakan dan Dept. for International Development. hlm. 131 – 142
Syamsu, J.A. dan A. Abdullah. 2009. Analisis Startaegi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan Sebagai Pakan
Ruminansia Di Sulawesi Selatan. Jurnal Ekonomi Pembangunan FE Univ.
Mihammadiyah Surakarta. Vo. 10, No. 2, Desember 2009, hl. 199-214.
Syamsu, J.A., L.A. Sofyan, K. Mudikdjo dan E. Gumbira Sa'id. 2003.
Daya dukung limbah pertanian sebagai
sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1) : 30-37.
Tangendjaja, B., S. Rachmawati and E. Wina. 2008. Origins and factors associated with
mycotoxins level in corn used as animal feed in Indonesia. IJAS (in print).
Trung, T.S., C. Tabuc, S. Bailly, A. Querin, P. Guerre and J.D. Bailly.
2008. Fungal mycoflora and contamination
of maize from Vietnam with AFL B1 and fumonisin B1. World. Myco. J. 1: 87 –
94.
Wilson, C.B., G.E. Erickson, T.J. Klopfenstein, R.J. Rasby, D.C. Adams
dan G. Rush. 2004. A Review of Corn
Stalk Grazing on Animal Performans and Crops Yield. Nebraska Beef Cattle
Report. pp. 13 – 15.
Tidak ada komentar:
Write comments