Pengolahan Limbah Jagung Sebagai Pakan Ternak Alternatif


Terkait dengan pengembangan pakan, diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku pakan lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku pakan. Secara umum untuk pengembangan pakan memiliki permasalahan, antara lain: (a) kebutuhan bahan baku pakan tidak seluruhnya dipenuhi dari lokal sehingga masih mengandalkan impor, (b) bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara optimal, (c) ketersediaan pakan lokal tidak kontinu dan kurang berkualitas, (d) penggunaan tanaman legum sebagai sumber pakan belum optimal, (e) pemanfaatan lahan tidur dan lahan integrasi masih rendah, (f) penerapan teknologi hijauan pakan masih rendah, (g) produksi pakan nasional tidak pasti akibat akurasi data yang kurang tepat, serta (h) penelitian dan aplikasinya tidak sejalan (Syamsu dan Abdullah 2009).


Limbah pertanian tidak semuanya dimanfaatkan oleh petani, penyebabnya adalah : a) umumnya petani membakar limbah tanaman pangan karena secepatnya akan dilakukan pengolahan tanah, b) limbah tanaman pangan bersifat kamba sehingga menyulitkan peternak untuk mengangkut dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada ternak, dan umumnya lahan pertanian jauh dari pemukiman peternak sehingga membutuhkan biaya dalam pengangkutan, c) tidak tersedianya tempat penyimpanan limbah tanaman pangan, dan peternak tidak bersedia menyimpan/menumpuk limbah di sekitar rumah/kolong rumah karena takut akan bahaya kebakaran, d) peternak menganggap bahwa ketersediaan hijauan di lahan pekarangan, kebun, sawah masih mencukupi sebagai pakan ternak (Liana dan Febriana 2011). Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan suatu wilayah. Sulawesi Selatan sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan peternakan. Daerah ini pernah dikenal sebagai lumbung ternak, dengan kemampuan memasok ternak ke daerah lain dalam rangka pengadaan ternak nasional (Syamsu et al. 2003). Hal inilah yang melatar belakangi dibuatnya makalah seminar studi pustaka yang berjudul Pengelolaan Limbah Tanaman Jagung Sebagai Pakan Ternak Sapi Potong Pada Musim Kemarau.
Ada beberapa istilah lokal Indonesia/daerah untuk berbagai macam limbah tanaman jagung atau hasil samping industri berbasis bahan dasar jagung. Istilah-istilah ini perlu diketahui agar tidak terjadi kesalahan dalam menyusun ransum/pakan konsentrat untuk ruminansia. Tebon jagung adalah seluruh tanaman jagung termasuk batang, daun dan buah jagung muda yang umumnya dipanen pada umur tanaman 45 – 65 hari (Soeharsono dan Sudaryanto, 2006). Ada pula yang menyebut tebon jagung tanpa memasukkan jagung muda ke dalamnya. Biasanya petani jagung seperti ini bekerja sama dengan peternak besar; petani hanya menanam jagung sebagai hijauan dan pada umur tertentu (masih dalam tahap baru berbuah atau tahap buah muda) seluruh tanaman jagung dipangkas dan dicacah untuk diberikan langsung ke ternak dan atau dimasukkan ke dalam tempat tertutup untuk dibuat silase.
Jerami jagung/brangkasan adalah bagian batang dan daun jagung yang telah dibiarkan mengering di ladang dan dipanen ketika tongkol jagung dipetik. Jerami jagung seperti ini banyak diperoleh di daerah sentra tanaman jagung yang ditujukan untuk menghasilkan jagung bibit atau jagung untuk keperluan industri pakan; bukan untuk dikonsumsi sebagai sayur (MARIYONO et al., 2004).
Kulit buah jagung/klobot jagung adalah kulit luar buah jagung yang biasanya dibuang. Kulit jagung manis sangat potensial untuk dijadikan silase karena kadar gulanya cukup tinggi (ANGGRAENY et al.,2006).
Tongkol jagung/janggel adalah limbah yang diperoleh ketika biji jagung dirontokkan dari buahnya. Akan diperoleh jagung pipilan sebagai produk utamanya dan sisa buah yang disebut tongkol atau janggel (ROHAENI et al., 2006). Selain limbah tanaman jagung, hasil samping dari industri jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Industri berbasis bahan dasar biji jagung di Indonesia masih terbatas sehingga limbah industri yang dihasilkan juga terbatas. Sedangkan di luar negeri, hasil samping industri jagung semacam ini lebih beragam tergantung dari sistem penggilingan dan proses dalam industri tersebut. Istilah hasil/produk samping industri ini masih dalam bahasa asing, tetapi beberapa produk seperti CGM, DDGS sudah di impor ke Indonesia dan sudah mulai digunakan untuk bahan pakan konsentrat ruminansia ataupun pakan unggas. Hasil samping dari industri berbasis jagung di Indonesia menurut PAMUNGKAS et al. ,(2004). adalah:
  • Tumpi adalah hasil samping yang dihasilkan pada saat pemipilan/perontokan biji jagung selain tongkol dan merupakan bagian pangkal dari biji jagung. Tumpi bersifat kamba (bulky)
  • Homini (empok) adalah hasil samping dari industri jagung semolina yaitu hasil samping dari penggilingan jagung secara kering (dry milling). Terdiri dari germ yang sudah diekstrak minyaknya, endosperm dan kulit luar yang masih menempel pada fraksi ini.
 Hasil samping dari industri jagung yang ada di luar negeri (SAUVANT et al., 2004) adalah:
  • Corn distiller’s adalah hasil samping dari proses distilasi jagung yang terdiri dari biji-biji sisa dan bahan terlarut dalam proporsi yang bervariasi.
  • Corn gluten feed (CGF) adalah hasil samping dari industri pati jagung yang dihasilkan dari proses penggilingan basah (wet milling). Terdiri dari campuran dedak, gluten dan kadang-kadang tercampur dengan bahan konsentrat terlarut dan corn germ. Bahan ini mengandung serat yang mudah tercerna cukup tinggi.
  • Corn gluten meal (CGM) adalah hasil samping dari industri pati jagung yang dihasilkan dari proses penggilingan basah (wet milling). Terdiri dari gluten yang diperoleh ketika pati dipisahkan. Mempunyai warna yang sangat kuning karena mengandung kadar xantofil yang cukup tinggi untuk pewarna kuning telur.
  • Proteinnya merupakan bypass protein yang tinggi. Maize/corn bran (dedak jagung) adalah hasil samping dari industri tepung jagung atau ”semolina”. Terdiri dari bagian luar biji jagung sebagai komponen utama yang tercampur dengan beberapa fragmen germ dan partikel endosperm.
  • Maize feed flour adalah hasil samping dari industri tepung jagung atau semolina. Terdiri dari endosperm sebagai komponen utama, fragmen germ dan kulit luar.
  • Maize germ meal, expeller adalah hasil samping dari industri minyak jagung. Terdiri dari bungkil (minyak diekstrak secara mekanik) yang masih ada endosperm dan kulit luarnya. Maize germ meal, solvent extracted adalah hasil samping dari industri minyak jagung. Terdiri dari bungkil (minyak diekstrak dengan pelarut organik) yang masih ada endosperm dan kulit luarnya.
  • Distiller’s dried grains with solubles (DDGS) adalah hasil samping dari industri bioetanol. Merupakan campuran dari bahan terlarut dan bahan padatan yang dikeringkan. Fraksi terlarut adalah fraksi cairan setelah alkohol dipisahkan dengan penguapan dan bahan padatan adalah sisa padatan yang dipisahkan setelah fermentasi perubahan pati menjadi alkohol berlangsung.
Beberapa hasil samping seperti CGM, DDGS dan CGF sudah masuk ke Indonesia, tetapi ketiga produk ini lebih banyak digunakan oleh pabrik pakan untuk campuran pakan ayam pedaging atau petelur. Saat ini, DDGS sudah mulai diperkenalkan dan digunakan sebagai campuran pakan konsentrat oleh beberapa feedlot di Indonesia (METI, komunikasi pribadi).

Penggunaan limbah tanaman jagung sebagai pakan dalam bentuk segar adalah yang termudah dan termurah tetapi pada saat panen hasil limbah tanaman jagung ini cukup melimpah maka sebaiknya disimpan untuk stok pakan pada saat musim kemarau panjang atau saat kekurangan pakan hijauan. Di Indonesia, kebanyakan petani akan memberikan tanaman jagung secara langsung kepada ternaknya tanpa melalui proses. Jerami jagung selain diberikan dalam bentuk segar, dapat dikeringkan atau diolah menjadi pakan awet seperti pelet, cubes dan disimpan untuk cadangan pakan ternak (Nulik et al., 2006). Sedangkan di Amerika dan negara lain seperti Argentina dan Brazil yang merupakan negara produsen jagung, limbah jagung sangat berlimpah (Mccutcheon dan Samples, 2002).
Pengolahan limbah jagung merupakan hal yang diperlukan agar kontinuitas pakan terus terjamin. Walaupun sebagian besar limbah tersebut diberikan kepada ternak dengan cara menggembalakan ternak langsung di areal penanaman setelah jagung dipanen, namun sebagian limbah tersebut diproses atau disimpan dengan cara dibuat hay (menjadi jerami jagung kering) atau diawetkan dalam bentuk silase sebagai pakan cadangan (Mccutcheon dan Samples, 2002).
Hay dengan mudah dibuat dengan membiarkan sisa panen jagung di bawah terik matahari sehingga diperoleh jerami jagung yang kering, Di luar negeri yang jumlah limbahnya setelah panen sangat melimpah dan waktu panen sudah mendekati musim dingin, maka pembuatan hay harus menggunakan mesin pengering. Setelah kering, hay dikumpulkan dan dipadatkan menyerupai gelondongan kemudian ditutup dengan plastik agar tidak kehujanan untuk digunakan sebagai persediaan pakan selama musim dingin. Penyimpanan hay di tempat kering merupakan hal yang harus dipraktekkan. Kondisi yang panas dan lembab di Indonesia sangat memudahkan tumbuhnya jamur pada hay yang menjadi basah bila penyimpanannya kurang baik.
Limbah jagung yang dapat dibuat silase adalah seluruh tanaman termasuk buah mudanya atau buah yang hampir matang atau limbah yang berupa tanaman jagung setelah buah dipanen dan kulit jagung. Tanaman jagung yang tersisa dari panen jagung masih cukup tinggi kadar airnya. Untuk pembuatan silase, dibutuhkan kadar air sekitar 60%. Oleh sebab itu, tanaman jagung harus dikeringkan sekitar 2 – 3 hari. Limbah dipotong menjadi potongan-potongan kecil lalu dimasukkan sambil dipadatkan sepadat mungkin ke dalam kantong-kantong plastik kedap udara atau dalam silo-silo yang berbentuk bunker (Nusio, 2005).
Bila dalam proses pembuatan silase suasana kedap udara tidak 100% maka bagian permukaan silase sering terkontaminasi dan ditumbuhi oleh bakteri lain yang merugikan seperti bakteri Clostridium tyrobutyricum yang mampu mengubah asam laktat menjadi asam butirat (Driehuis dan Giffel, 2005). Bila seluruh tanaman jagung termasuk buahnya dibuat menjadi silase maka karbohidrat terlarut yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri sudah mencukupi. Bila yang dibuat silase hanya jerami jagung atau kulit jagung, maka perlu ditambahkan molases sebagai sumber karbohidrat terlarut atau dapat pula ditambahkan starter (bakteri atau campurannya) untuk mempercepat terjadinya silase.
Mikroba yang ditambahkan biasanya bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei, Lactobacillus lactis, Lactobacillus bucheneri, Pediocococcus acidilactici, Enterococcus faecium, yang menyebabkan pH silase cepat turun (Nusio, 2005). Proses silase akan memakan waktu kurang lebih 3 minggu bila tidak ditambah starter. Produk silase jagung yang baik atau sudah jadi ditandai dengan bau yang agak asam karena pH silase biasanya rendah (sekitar 4) dan berwarna coklat muda karena warna hijau daun dari khlorofil akan hancur sehingga limbah menjadi kecoklatan. Bila ditambah molases, silase yang dihasilkan agak berbau sedikit harum. Walaupun baunya agak asam, akan tetapi cukup palatabel bagi ternak.
Silase merupakan proses yang sangat umum dilakukan di negara-negara yang mempunyai 4 musim karena pada musim dingin, tidak tersedia stok rumput segar untuk diberikan ternak. Banyak sekali penelitian yang telah dilaporkan untuk melihat pengaruh jenis tanaman jagung, ukuran cacahan, umur panen, dan sebagainya. terhadap kualitas silase maupun performans ternak (Johnson et al., 2003; NEYLON dan Kung, 2003), namun sampai saat ini proses adopsi teknologi ini tetap saja rendah di tingkat peternak padahal di Indonesia terutama di daerah Indonesia bagian Timur sering terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan kekurangan pakan berkualitas. Kendala yang dihadapi kemungkinan adalah tidak adanya ruang penyimpanan yang memadai. Bila silase dibuat dalam kantong plastik, dibutuhkan suasana kedap udara dan plastik tidak boleh robek atau bocor. Gigitan tikus biasanya merupakan penyebab utama kantong plastik robek/bocor. Kendala lain adalah tidak adanya tambahan modal untuk menyediakan/membeli kantong plastik atau ember/drum plastik.
Kurangnya waktu untuk membuat silase karena petani biasanya sibuk untuk mengeringkan hasil panen biji-biji jagung terlebih dahulu. Selain dibuat hay dan silase, limbah jagung dapat juga diamoniasi. Amoniasi dapat dilakukan sebelum dibuat silase dengan menambahkan urea sebanyak 34 gr per kg limbah. Literatur mengenai proses amoniasi jerami jagung masih terbatas, sebaliknya amoniasi telah sering dilakukan untuk limbah pertanian yang lain misalnya jerami padi. Sifat basa dalam proses amoniasi akan membengkakkan serat/memotong ikatan glikosida di dalam selulosa (proses swelling) sehingga serat menjadi mudah dihancurkan oleh mikroba-mikroba di dalam rumen.
Proses fermentasi juga telah dilakukan terhadap limbah tanaman jagung. Pamungkas et al. (2006) menggunakan Pleurotus flabelatus untuk fermentasi jerami jagung. Jamur Pleurotus merupakan jamur pembusuk putih (white rot fungi). Jamur ini dapat mengeluarkan enzim-enzim pemecah selulosa dan lignin sehingga kecernaan bahan kering jerami jagung akan meningkat. Sedangkan Rohaeni et al. (2006a) menggunakan Trichoderma virideae untuk memfermentasi tongkol jagung. Sebelum proses fermentasi dilakukan, diperlukan mesin penghancur/ penggiling tongkol jagung sehingga diperoleh ukuran partikel tongkol jagung sebesar butiran biji jagung. Jamur Trichoderma termasuk jamur penghasil selulase sehingga banyak digunakan untuk memfermentasi limbah-limbah pertanian. Tongkol dicampur dengan jamur Trichoderma dan dibiarkan selama 4 – 7 hari dalam tempat tertutup. Fermentasi biasanya akan meningkatkan nilai nutrisi atau nilai kecernaan bahan kering suatu bahan serta dapat pula menyebabkan bahan menjadi lebih palatabel bagi ternak.
Tanaman jagung termasuk tanaman monokotil dari genus Zea yang tumbuh dengan baik pada tanah yang bertekstur latosal dengan tingkat kemiringan 5 – 8%, keasaman 5,6 – 7,5 serta suhu antara 27 – 32ºC (AZRAI et al., 2007). Selain buah atau bijinya, tanaman jagung menghasilkan limbah dengan proporsi yang bervariasi dengan proporsi terbesar adalah batang jagung (stover) diikuti dengan daun,tongkol dan kulit buah jagung.
Nilai palatabilitas yang diukur secara kualitatif menunjukkan bahwa daun dan kulit jagung lebih disukai oleh ternak dibandingkan dengan batang ataupun tongkol (Wilson et al., 2004). Nilai proporsi limbah yang hampir sama dilaporkan oleh Anggraeny dkk. (2006) yaitu limbah dari beberapa varietas jagung yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Jagung dan Serealia, Maros. Proporsi batang bervariasi antara 55,38 – 62,29%, proporsi daun antara 22,57 – 27,38% dan proporsi klobot antara 11,88 – 16,41%. Dalam studi Anggraeny dkk. (2006), tongkol jagung tidak diperhitungkan dalam proporsi limbah.
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam pemberian limbah tanaman jagung termasuk tongkol untuk ternak adalah kontaminasi jamur. Jamur akan cepat tumbuh pada suasana lembab dan panas seperti kondisi di Indonesia terlebih bila proses pengeringan jerami/tongkol jagung tidak berjalan dengan baik. Jamur yang paling sering ditemukan pada biji jagung dan limbahnya adalah jamur Aspergillus dan Fusarium. Jamur-jamur ini akan menghasilkan toksin yang berbahaya bagi ternak dan manusia yang mengkonsumsi produk ternak tersebut. Mikotoksin yang sering ditemukan adalah aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan fumonisin yang dihasilkan oleh jamur Fusarium moniliforme, deoxynivalenol dan zearalenon yang dihasilkan oleh Fusarium graminearum (Trung et al., 2008; Tangendjaja et al., 2008). Direktorat Jenderal Peternakan telah menetapkan standar maksimum kadar aflatoksin pakan ruminansia adalah sebesar 100 – 200 ppb (Suparto, 2004).
Standar ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar maksimum kadar aflatoksin dalam pakan unggas terutama itik. Standar maksimum yang cukup tinggi ini serta kurang adanya laporan mengenai terjadinya kasus aflatoksikosis pada ternak ruminasia menyebabkan, perhatian terhadap mikotoksin untuk pakan ruminansia masih sangat sedikit atau hampir tidak ada sama sekali. Standar maksimum kadar aflatoksin dalam pakan sapi perah mungkin sebaiknya  direvisi dan harus lebih kecil karena sekarang Codex (FAO/WHO Food Standards) telah menetapkan  standar maksimum kontaminan aflatoksin di dalam susu adalah 0,05 ppb (Codex, 2007).
 Nilai nutrisi dari limbah tanaman dan hasil samping industri jagung sangat bervariasi (Tabel 1). Kulit jagung mempunyai nilai kecernaan bahan kering in vitro yang tertinggi (68%) sedangkan batang jagung merupakan bahan yang paling sukar dicerna di dalam rumen (51%) (Mcctucheon dan Samples, 2002). Nilai kecernaan kulit jagung dan tongkol (60%) ini hampir sama dengan nilai kecernaan rumput Gajah sehingga kedua bahan ini dapat menggantikan rumput Gajah sebagai sumber hijauan. Total nutrien tercerna (TDN) yang tertinggi terkandung pada silase tanaman jagung termasuk buah yang matang sedangkan yang terendah dijumpai pada tongkol (Tabel 2). Faktor yang penting dalam menyusun ransum komplit adalah nilai TDN. Kebutuhan TDN untuk penggemukan sapi potong maupun sapi perah cukup tinggi dan syarat minimum TDN dapat dilihat dalam NRC (2001).
Tabel 1. Proporsi Limbah Tanaman Jagung, Kadar Protein Kasar Dan Nilai Kecernaan Bahan Keringnya
Limbah jagung
Kadar air
(%)
Proporsi limbah (%)
Protein kasar (%)
Kecernaan BK in vitro (%)
Palatabilitas (%)
Batang
70 – 75
50
3,7
51
Rendah
Daun
20 – 25
20
7,0
58
Tinggi
Tongkol
50 – 55
20
2,8
60
Rendah
Kulit jagung
45 - 50
10
2,8
68
Tinggi
Sumber: Mccutcheon dan Samples (2002); Wilson et al. (2004)
            Tabel 2. Komponen Kimia dan Nutrisi Limbah Tanaman Jagung
Jenis Limbah
BK   TDN   PK   UIP   SK   ADF   NDF   LK   Abu   Ca     P

----------------------------------%-----------------------------------
Jerami jagung (corn fodder)
80      67        9      45     25      29      48      2,4     7     0,50   0,25
Batang jagung tua (corn stover/stalk, mature)
80      59       5       30     35      44      70     1,3      7     0,35   0,19
Silase tanaman jagung termasuk buah muda
(corn silage, milk stage)
26     65        8       18     26      32     54      2,8      6     0,40   0,27
Silase tanaman jagung termasuk buah yang sudah matang (corn silage, mature well eared)
34     72        8        28    21      27     46      3,1     5     0,28    0,23
Silase tanaman jagung manis (corn silage, sweet corn)
24     65      11     t a d   20       32     57      5,0      5    0,24    0,26
Tongkol (corn cobs)
90     48       3       70     36       39     88       0,5     2     0,12   0,04
TDN = Total Digestible Nutrient (total nutrien tercerna)
UIP = Undegradable Insoluble Protein (protein tak larut dan tidak terdegradasi; dalam rumen)
ADF = Acid Detergent Fiber (serat deterjen asam)
NDF = Neutral Detergent Fiber (serat deterjen netral)
t a d = tidak ada data
Sumber: Preston (2006).
Selain nilai TDN yang rendah, tongkol jagung juga mempunyai kadar protein terendah dibandingkan dengan bahan lainnya sedangkan silase tanaman jagung manis mempunyai kandungan protein yang tertinggi. Untuk jerami jagung yang dikembangkan di Sulawesi Selatan, kadar protein kasar berkisar antara 3,78 sampai 5,37% (Tabel 3) yang menunjukkan bahwa jerami jagung tidak dapat digunakan sebagai pensuplai protein bagi ternak. Tongkol jagung mempunyai kadar protein yang paling rendah yaitu 3% tetapi 70% dari nilai tersebut merupakan protein tidak tercerna di dalam rumen (UIP). Sebaliknya, tongkol dan batang jagung mempunyai kandungan serat NDF yang paling tinggi dibandingkan dengan limbah lainnya. Untuk jagung yang dikembangkan di Balai Penelitian Serealia kadar serat (NDF) jerami jagung tertinggi terdapat pada jenis Maros sintetik (73,58%) dan yang terendah pada jenis S99TLYQGH-AB (61,11%). Bila buah jagung yang masih muda dipanen (jagung semi), jerami jagung yang tersisa akan mempunyai kadar protein yang sedikit lebih tinggi, kadar serat (NDF dan ADF) yang lebih kecil dari pada jerami jagung yang berumur 100 hari. Jadi tongkol maupun batang jagung merupakan sumber serat yang baik tetapi pemakaiannya sangat terbatas karena nilai TDN cukup rendah dibandingkan dengan bagian lainnya.

Table 3. kandungan zat gizi jerami jagung beberapa varian (umur 100 hari) di jawa timur dan sulawesi selatan
Nama varietas (asal)
BK
BO
PK
LK
SK
NDF
ADF


------------------------------%--------------------------------

Bisi kering (jatim)
83,04
88,70
4,46
0,85
33,12
t a d
t a d

NK kering (jatim)
83,20
91,78
5,37
0,60
31,73
t a d
t a d

Arjuna kering (jatim)
83,54
91,60
4,9
0,86
31,11
t a d
t a a

S99TLYQGH-AB (Sulsel)
43,24
85,04
4,89
0,55
33,80
61,11
45,18

Pozarica 8365 (Sulsel)
46,85
84,14
3,78
0,64
34,96
62,48
43,42

Across 8666 (Sulsel)
47,61
83,86
4,63
0,65
29,14
71,61
42,30

S98TLWQ-FLD (Sulsel)
44,86
83,39
4,41
0,69
30,00
71,20
43,00

POP63C2QPMLTV (Sulsel)
46,83
83,24
4,87
0,69
29,02
71,95
43,67

Maros sintetik (sulsel)
48,00
83,62
4,32
0,77
29,16
73,58
44,60

Jerami jagung
33,00
93,00
5,00
T a d
T a d
63,10
39,80

T a d = tidak ada data
Sumber : ANGGRAENY et al. (2005) dan  NOUALA et al. (2004)

Jerami jagung yang kering ataupun yang dibuat silase tidak dapat digunakan sebagai sumber karotenoid karena kandungan karotenoidnya sangat rendah yaitu 70 – 80 mg/kg, terdiri dari 3 – 10 mg/kg epilutein, 25 – 37 mg/kg lutein, 6 – 10 mg/kg zeaxanthin, 24 – 35 mg/kg β- karoten (Noziere et al., 2006).
Dapat disimpulkan bahwa limbah perkebunan jagung bukanlah pakan yang berkualitas baik karena mengandung kadar protein dan karotenoid yang rendah dan kadar serat yang tinggi. Bila limbah perkebunan ini diberikan kepada ternak tanpa disuplementasi atau diberi perlakuan sebelumnya maka nutrisi limbah ini tidak akan cukup untuk mempertahankan kondisi ternak. Oleh sebab itu, disarankan pencampuran jerami jagung dengan leguminosa sebagai sumber protein ketika akan diberikan ke ternak atau bila hendak dibuat silase (Kaiser and Piltz, 2002).
(Penulis            Khaerun Nur Karimuddin, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2015)

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeny, Y.N., U. Umiyasih dan N.H. Krishna. 2006. Potensi limbah jagung siap rilis sebagai sumber hijauan sapi potong. Pros. Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 149 – 153.
Azrai, M., M.J. Mejaya dan M. Yasin. 2007. Pemuliaan jagung khusus. Dalam: Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H. Kasim (Eds.). Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 96 – 109.
Codex. 2007. Codex general standard for contaminants and mycotoxin in foods. Codex Stan 193 – 1995, Rev. 3 – 2007.
Driehuis, F. and M.C. Giffel. 2005. Butyric acid bacteria spores in whole crop maize silages. In: Silage Production and Utilization. PARK, R.S. and M.D. STRONGE (Eds.), Wageningen Academic Publ. The Netherlands pp 271.
Johnson, L. M., J. H. Harrison, D. Davidson, C. Hunt, W. C. Mahanna and K. Shinners. 2003. Corn silage management: Effects of hybrid, maturity, chop length, and mechanical processing on rate and extent\ of digestion. J. Dairy Sci. 86: 3271 – 3299
Kaiser, A.G. and J.W. Piltz. 2002. Silage production from tropical forages in Australia. Presented at the XIIIth International Silage Conference, 11 – 13th September, 2002. http://www.fao.org/ag/AGP/AGPC/ doc/silage/ kaiserpaper/kaisersilage.htm. (12 februari 2015).
Liana dan Febriana. 2011. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia pada Peternak Rakyat di Kec. Rengat Barat Kab. Inragiri Hulu. Fakultas Pertanian Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (28-37)
Mariyono, U. Umiyasih, Y. Anggraeny dan M. Zulbardi. 2004. Pengaruh substitusi konsentrat komersial dengan tumpi jagung terhadap performans sapi PO bunting muda. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 97 – 101.
Mccutcheon, J. and D. Samples. 2002. Grazing Corn Residues. Extension Fact Sheet Ohio State University Extension. US. ANR10-02
Neylon, J.M. and L. Kung JR. 2003. Effects of cutting height and maturity on the nutritive value of corn silage for lactating cows. J. Dairy Sci. 86: 2163 – 2169.
Nouala, F.S., O.O. Akinbamijo, O.B. Smith and V.S. Pandey. 2004. Horticultural residue area of the Gambia. Lives. Res. Rur. Dev. 16, Art#37.
Noziere, P., B. Graulet, A. Lucas, B. Martin, P. Grolier and M. Doreau. 2006. Carotenoid for ruminants: From forages to dairy products. Anim. Feed Sci.Tech. 131: 418 – 450
NRC, 2001. Nutrient Requirement for Dairy Cattle. 7th Revised Edition
Nulik, J., D. Kanahau dan E.Y. Hosang. 2006. Peluang dan prospek integrasi jagung dan ternak di Nusa Tenggara Timur. Pros. Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 253 – 260.
Nusio, L.G. 2005. Silage production from tropical forages. In: Silage Production and Utilization. PARK, R.S. and M.D. STRONGE (Eds.). Wageningen Academic Publ., the Netherlands. pp. 97 – 107
Pamungkas, D., E. Romjali dan Y.N. Anggraeny. 2006. Peningkatan mutu biomas jagung menunjang penyediaan pakan sapi potong sepanjang tahun. Pros. Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 142 – 148
Pamungkas, D., U, Umiyasih, YN Anggraeny, N.H.Krishna, L. Affandhy, Mariyono dan M.Zulbandi. 2004. Teknologi Peningkatan Mutu Biomas Lokal untuk Penyediaan Pakan Sapi Potong. Laporan Akhir. Loka Penelitian Sapi Potong, Grati.
Preston, R.L. 2006. Feed Composition Tables. http://beefmag.com/mag/beef_feed_composition. (12  februari 2015).
Rohaeni, E.S., N. Amali dan A. Subhan. 2006a. Janggel jagung fermentasi sebagai pakan alternatif untuk ternak sapi pada musim kemarau. Pros. Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 193 – 196.

Rohaeni, E.S., A. Subhan dan A. Darmawan. 2006b. Kajian penggunaan pakan lengkap dengan memanfaatkan janggel jagung terhadap pertumbuhan sapi. Pros. Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 185 – 192
Sauvant, D., J.M. Perez and G. Tran. 2004. Tables of Composition and Nutritional Value of Feed Materials. 2nd Edition, INRA. Wageningen Academic Publishers. pp. 118 – 133
Soeharsono dan B. Sudaryanto. 2006. Tebon jagung sebagai sumber hijauan pakan ternak strategis di lahan kering Kabupaten Gunung Kidul. Pros. Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung – Sapi. Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 136 – 141.
Subandi, 2005. Kebutuhan Benih Jagung di Indonesia. Materi Sosialisasi Produksi dan Distribusi Benih Unggul Jagung Nasional. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia lainnya di Maros Sulawesi.
Suparto, D.A.H. 2004. Situasi cemaran mikotoksin pada pakan di Indonesia dan perundang-undangannya. Pros. Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Bogor, 20 – 21 April 2004. Puslitbang Peternakan dan Dept. for International Development. hlm. 131 – 142
Syamsu, J.A. dan A. Abdullah. 2009. Analisis Startaegi Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan Sebagai Pakan Ruminansia Di Sulawesi Selatan. Jurnal Ekonomi Pembangunan FE Univ. Mihammadiyah Surakarta. Vo. 10, No. 2, Desember 2009, hl. 199-214.
Syamsu, J.A., L.A. Sofyan, K. Mudikdjo dan E. Gumbira Sa'id. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1) : 30-37.
Tangendjaja, B., S. Rachmawati and E. Wina. 2008. Origins and factors associated with mycotoxins level in corn used as animal feed in Indonesia. IJAS (in print).
Trung, T.S., C. Tabuc, S. Bailly, A. Querin, P. Guerre and J.D. Bailly. 2008. Fungal mycoflora and contamination of maize from Vietnam with AFL B1 and fumonisin B1. World. Myco. J. 1: 87 – 94.
Wilson, C.B., G.E. Erickson, T.J. Klopfenstein, R.J. Rasby, D.C. Adams dan G. Rush. 2004. A Review of Corn Stalk Grazing on Animal Performans and Crops Yield. Nebraska Beef Cattle Report. pp. 13 – 15.


Tidak ada komentar:
Write comments