Agribisnis merupakan
konsepsi sistem yang utuh, terintegrasi, dan bersifat mega sektor, terdiri atas
subsistem agribsinis hulu, subsistem usaha tani (on farm), subsistem agribisnis
hilir, dan subsistem jasa-jasa penunjang. Ruang lingkup kegiatan pembangunan
pengolahan dan pemasaran hasil pertanian adalah pembangunan sistem dan usaha-usaha
di bidang pengolahan hasil pertanian yang meliputi kegiatan-kegiatan penanganan
pasca panen dan pengolahan produk yang menghasilkan produk segar, produk olahan
utama, produk ikutan, dan produk limbah, serta pembangunan pemasarannya, baik
pasar domestik maupun pasar internasional.
Data
Departemen Perindustrian dan perdagangan memperlihatkan bahwa pada tahun 1999
terdapat 2.075 unit usaha agro industri skala menengah dan besar, yang menyerap
tenaga kerja sekitar 950.000 orang, dengan nilai produksi sebesar Rp. 41
trilyun dan nilai ekspor US $ 3 milyar. Agroindustri yang menonjol adalah
minyak sawit, minyak kelapa, kalengan ikan, produk kakao, margarin,
confectionary, kalengan buah-buahan, MSG, pakan ternak, dan rokok. Selama masa
krisis 1998 dan 1999 nilai produksinya mengalami kenaikan sebesar 5,66%, nilai
ekspor naik 13,67%, dan jumlah tenaga kerja naik 2,11%. Selama masa itu,
kelompok industri yang berkembang adalah pengolahan berbasis kelapa sawit, ubi
kayu, dan ikan; dan yang bertahan antara lain adalah industri pengolahan tepung
terigu, susu, dan rokok.
Berbeda
dari produk non-pertanian, produk pertanian memiliki karakteristik khusus yaitu
mudah rusak (perishable), beragam kualitas dan kuantitas (variability), dan
bulky dengan resiko fluktuasi harga yang cukup tinggi. Untuk meningkatkan daya
saing dan nilai tambah produk-produk pertanian diperlukan pengembangan
pengolahan dan industri hilirnya. Selama ini peran agroindustri dalam
perindustrian nasional cukup besar; pangsa nilai tambahnya dalam industri
non-migas sebesar 80,70 %, kesempatan kerja 74,90%, dan efek pengganda nilai
tambah sebesar 3,23. Fakta ini menunjukkan bahwa agroindustri yang bergerak di
sektor makanan, perikanan, peternakan, dan perkebunan merupakan sektor
komplemen yang dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian
dan perdesaan. Sektor
agroindustri ini merupakan pilar strategis pembangunan sektor pertanian (Badan
Litbang Deptan, Desember 2000).
Pembangunan
berbagai industri sebagai sarana dalam pembangunan ekonomi suatu negara, juga
menimbulkan akibat samping yang tidak diinginkan terhadap lingkungan karena
dapat merusak keseimbangan sumber daya alam, kelestarian dan daya dukung
lingkungan. Awalnya,
strategi pengolahan lingkungan mengacu pada pendekatan kapasitas daya dukung (carrying
capacity approach). Konsep daya dukung ini kenyataannya sukar untuk
diterapkan karena kendala yang timbul dan seringkali harus dilakukan upaya
perbaikan kondisi lingkungan yang kemudian tercemar dan rusak, sehingga
memerlukan biaya tinggi.
Konsep
strategi pengolahan lingkungan akhirnya berubah menjadi upaya pemecahan masalah
pencemaran dengan cara mengolah limbah yang terbentuk (end of pipe treatment)
dengan harapan kualitas lingkungan hidup bisa lebih ditingkatkan. Cara ini
kurang efektif karena membutuhkan lahan yang lebih luas, waktu dan biaya yang
lebih mahal dibandingkan dengan pengendalian limbah secara preventif mulai dari
awal proses produksi. Walaupun demikian masalah pencemaran dan kerusakan
lingkungan masih terus berlangsung, sehingga saat ini strategi pengolahan
lingkungan berubah menjadi upaya preventif atau pencegahan dan dikembangkan
menjadi prinsip produksi bersih (cleaner production) sebagai suatu
stategi preventif yang operasional dan terpadu.
Upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak
seringkali dihadapkan pada kendala pemenuhan kebutuhan pakan yang belum
memenuhi baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Penyediaan pakan yang murah
dan berkualitas serta berkesinambungan merupakan suatu tantangan yang cukup
serius bagi para peternak, baik ruminansia maupun non ruminansia. Oleh karena
itu, perkembangan dan keberhasilan suatu usaha peternakan sangat ditentukan
oleh adanya penyediaan pakan secara kontinyu sepanjang tahun dengan kualitas
dan kuantitas yang memadai. Kendala yang sering timbul dalam penyediaan pakan
ternak di daerah beriklim tropis termasuk Indonesia adalah pakan yang
berkualitas tinggi dengan harga yang murah.
Salah satu alternatif solusi untuk
memenuhi harga yang murah adalah penggunaan bahan-bahan pakan inkonvensional
yang biasanya merupakan limbah-limbah tanaman pertanian dan perkebunan,
misalnya : jerami padi, jerami jagung, pucuk tebu dan lain sebagainya.
Disamping itu limbah pengolahan biji-bijian dan pangan, misalnya : dedak padi,
kulit cacao, dedak jagung, polard, wheat brand, tumpi (kulit ari jagung), bulu
ayam, darah (khususnya di Sumatra barat),
onggok dan sebagainya. Namun demikian, kendala penggunaan bahan pakan
inkonvensional pada umumnya adalah kandungan nutrisi yang rendah. Oleh karena
itu, untuk lebih mendayagunakannya, terutama untuk peningkatan kandungan
protein dan penurunan kadar serat kasarnya, perlu dilakukan suatu perlakuan
atau pengolahan untuk meningkatkan kualitasnya.
Upaya peningkatan kecernaan dan
kualitas bahan pakan berserat telah banyak dilakukan antara lain dengan
perlakuan fisik, kimiawi, biologi serta pengolahan gabungan antara kimiawi dan
biologi. Pengolahan secara fisik dan kimiawi akhir-akhir ini dirasa semakin
tidak menguntungkan, karena selain tidak ekonomis juga akan menimbulkan
pencemaran tanah dan lingkungan. Oleh karena itu pengolahan bahan pakan
berserat secara biologi dengan memanfaatkan jasa mikrobia selulolitik
akhir-akhir ini dirasa paling tepat. Namun demikian setiap cara pengolahan dan
atau perlakuan terhadap suatu bahan pakan seyogyanya dilakukan suatu percobaan
atau penelitian, sehingga pengolahan yang dilakukan benar-benar bermanfaat dan
nyata akan meningkatkan kecernaan dan kualitas nutrisinya.
Pengetahuan
tentang bahan-bahan pakan dan pakan yang telah siap dikonsumsi oleh ternak,
masih terpaku pada pengadaan dan proses, namun belum lebih jauh pada mutu dari
kandungan nutrisinya. Teknologi pakan ternak (ruminansia) meliputi kegiatan
pengolahan bahan pakan, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas nutrisi
pakan, meningkatkan daya cerna hewan ternak, dan dapat memperpanjang daya
simpan bahan pakan tanpa harus mengurangi mutun secara berarti. Dilain pihak
pengembangan teknologi pakan dari hijauan atau limbah pertanian secara aktif
telah memberikan sumbangan nyata terhadap penurunan potensi limbah pertanian
yang terbuang.
Pengolahan bahan pakan secara fisik,
seperti halnya pada perlakuan pencacahan – pemotongan hijauan sebelum diberikan
pada ternak akan membantu memudahkan ternak untuk menkonsumsi dan mencerna.
Sedangkan perlakuan kimiawi, umumnya ditujukan terbatas pada upaya penambahan
aditif atau vitamin atau upaya lain seperti pemecahan dinding sel hijauan yang
umumnya mengandung khitin, selulosa dan hemiselulosa sehingga hijauan sulit
dicerna dan atau diproses oleh mikroba di dalam rumen (usus ternak), penambahan
proses kimiawi ini sangat sedikit diterapkan di perternak kecil, karena adanya
biaya tambahan yang tidak sedikit.
Pemanfaatan
limbah pertanian
seperti jerami padi sebagai pakan bukan hal baru bagi petani peternak. Namun
disadari, limbah pertanian tersebut sebagai pakan tambahan tak akan mencukupi
kebutuhan pokok hidup ternak jenis ruminansia. Yakni jenis ternak herbivora
yang mempunyai keunikan dan keistimewaan mengonsumsi hijauan pakan dalam jumlah
besar sebagai sumber gizi dan energi utama dibanding dengan ternak
nonruminansia (monogastrik).
Jenis
ternak ruminansia besar, misalnya sapi dan kerbau. Sedang yang termasuk ruminansia kecil, kambing
dan domba. Tak disangkal pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan akan terus
meningkat. Nilai pakan limbah pertanian sangat tergantung pada macam limbah,
varietas tanaman, pemupukan, saat dan cara panen. Faktor pembatas tingkat
pemanfaatan limbah pertanian untuk ternak umumnya kegunaan bahan, kualitas yang
rendah dan kurang disukai ternak.
Atas
dasar pertimbangan itu, perlu ditemukan upaya meningkatkan pendayagunaan limbah
pertanian untuk pakan ruminansia. Tujuannya memperoleh sumber pakan alternatif
yang murah, berasal dari sumber inkonvensional yang mudah diperoleh, aman
dipakai, dan menumbuhkan kreativitas petani peternak sendiri untuk
mengerjakannya.
Jerami
padi sangat potensial dihasilkan oleh petani. Dari inventarisasi limbah
pertanian Jawa dan Bali diperoleh hasil
produksi limbah pertanian rata-rata 28,7 juta ton/tahun, dan 67,2% berupa
jerami padi. Khususnya di musim kemarau, jerami dapat didayagunakan untuk
mengatasi fluktuasi persediaan pakan. Peranan jerami padi merupakan salah satu
sumber pakan hijauan amat penting. Kondisi ini terlihat nyata terutama pada
daerah-daerah rawan kekeringan seperti di Kabupaten Grobogan, Blora, Rembang,
Wonogiri dan lain-lain.
Lazimnya,
jerami padi yang digunakan untuk pakan dikeringkan secara alami (natural
drying). Memang proses pengeringan ini memiliki keuntungan. Pertama tak
begitu banyak memerlukan biaya. Kedua, kadar vitamin D dalam hijauan yang
dihasilkan relatif tinggi. Ketiga, pelaksanaannya lebih mudah, yakni hanya
dengan menggunakan sinar matahari.
1. Kualitas Jerami
Jerami
sudah tak asing lagi bagi petani peternak di Indonesia . Hal ini karena
ketersediaannya cukup melimpah terutama pada saat panen raya padi tiba. Jerami
tersebut dimanfaatkan sebagai campuran atau makanan ternak jika persediaan
hijauan segar sudah tak mencukupi kebutuhan konsumsi ternak. Kendala
keterbatasan jerami sebagai pakan adalah minimnya kandungan nutrisi dari limbah
pertanian tersebut. Berdasarkan realita yang ada, jerami umumnya mengandung
energi netto yang rendah per satuan berat. Kadar seratnya tinggi, yaitu dalam
keadaan kering mengandung serat kasar lebih dari 10%. Sehingga nilai hayati
jerami padi sangat rendah. Daya cernanya sekitar 40%, jumlah konsumsinya di
bawah 2% bobot badan ternak, dan kadar proteinnya 3-5%.
Rendahnya
tingkat kecernaan jerami padi, karena ikatan yang terjadi pada jerami padi
(selulose dan hemiselulose) ini sulit dipecah oleh mikroba rumen. Sehingga,
jerami yang dikonsumsi ini pun sulit dicerna dan banyak yang tak dimanfaatkan
oleh pencernaan ruminansia. Dengan melihat komposisi zat nutrisi jerami yang
tergolong marginal itu, maka untuk mencapai hasil optimal dalam penggemukan
ternak ruminansia perlu juga ditambahkan dengan pemberian makanan penguat
(konsentrat).
2. Amoniasi Jerami
Sesungguhnya,
perbaikan nilai gizi bisa dilakukan melalui pengolahan limbah pertanian secara
fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Salah satu di antaranya, untuk meningkatkan
mutu jerami padi dengan melakukan inovasi teknologi berupa amoniasi jerami.
Prinsipnya, memberikan perlakuan khusus kepada jerami dengan metode pengolahan
menggunakan amoniak (NH3).
Fungsi
amoniak di sini untuk menghancurkan ikatan lignin, selulosa dan silika yang
merupakan faktor penghambat utama daya cerna jerami. Disamping itu, juga
berperan memuaikan serat selulosa, memudahkan penetrasi enzim selulosa dan
mengangkat kandungan protein kasar melalui peresapan nitrogen. Harapannya,
dengan adanya jerami amoniasi, petani peternak dapat meningkatkan pemanfaatan
jerami hasil limbah pertanian sebagai pakan ternak untuk menunjang tingkat
produktivitas ternak.
Sumber
amoniak potensial yang bisa dipergunakan adalah NH3 dalam bentuk gas
dan cair, NH3OH dalam bentuk larutan, dan urea dalam bentuk padat.
Dari ketiga sumber amoniak tersebut, urea mudah diperoleh dan relatif murah
harganya.
Teknologi
pakan ternak (ruminansia) meliputi kegiatan pengolahan bahan pakan, yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas nutrisi pakan, meningkatkan daya cerna
hewan ternak, dan dapat memperpanjang daya simpan bahan pakan tanpa harus
mengurangi mutun secara berarti. Dilain pihak pengembangan teknologi pakan dari
hijauan atau limbah pertanian secara aktif telah memberikan sumbangan nyata
terhadap penurunan potensi limbah pertanian yang terbuang.
3. Hidrolisis Jerami (Menggunakan asam kuat dan basa
kuat)
Prinsip Dasar
Hidrolisis
jerami menggunakan asam kuat dan basa kuat dilakukan dengan tujuan peningkatan
kualitas jerami dengan perlakuan kimia menggunakan asam kuat dan basa kuat.
Penggunaan asam kuat dan basa kuat akan menyebabkan senyawa kompleks bahan pakan yang sulit dicerna
terhidrolisis menjadi komponen yang lebih sederhana.
Pengolahan jerami dengan asam kuat
Pengolahan
jerami dengan asam kuat merupakan
pengolahan dengan menggunakan bahan kimia alkali, seperti : HCl, H2SO4, HNO3.
Pengolahan alkali dengan asam kuat menyebabkan kenaikan kecernaan disebabkan :
· Larutnya sebagian silika
dan lignin
· Bengkaknya jaringan serat
akibat lepasnya sebagian ikatan Hidrogen diantara molekul glukosa
· Terhidrolisanya ikatan
ester pada gugus asam uronat diantara selulosa dan hemiselulosa yang memudahkan
enzim pencernaan yang dihasilkan mikrobia rumen dapat menembus dan mencerna
dinding sel.
Kelemahan penggunaan asam kuat
untuk pengolahan jerami :
-
Tidak ekonomis
-
Residu asam kuat bersifat toksik
-
Perlu upaya menetralkan pH sebelum diberikan pada ternak
Cara pengolahan :
- Bahan diperkecil ukurannya
- Pengukuran kadar air bahan dan mengusakan kadar air
bahan menjadi 50 %
- Asam kuat (2 – 10 % BK bahan) dilarutkan
dalam air dan dicampur dengan bahan selama 3 – 10 menit dalam suatu wadah
yang tertutup
- Kerusakan bahan dapat terjadi setelah 24 – 48 jam dibuka.
Pengolahan jerami dengan basa kuat
Pengolahan
jerami dengan basa kuat merupakan pengolahan dengan menggunakan bahan kimia
alkali, seperti : NaOH, KOH. Pengolahan
alkali dengan basa kuat menyebabkan kenaikan kecernaan disebabkan :
-
Larutnya sebagian silika dan lignin
-
Bengkaknya jaringan serat akibat lepasnya sebagian ikata
Hidrogen diantara molekul glukosa
-
Terhidrolisanya ikatan ester pada gugus asam uronat diantara
selulosa dan hemiselulosa yang memudahkan enzim pencernaan yang dihasilkan
mikrobia rumen dapat menembus dan mencerna dinding sel.
Kelemahan penggunaan basa kuat
untuk pengolahan jerami :
-
Tidak ekonomis
-
Residu basa kuat menyebabkan gangguan dalam metabolisme
mineral
-
Perlu upaya menetralkan pH sebelum diberikan pada ternak
Cara pengolahan :
- Bahan diperkecil ukurannya
- Pengukuran kadar air bahan dan mengusakan kadar air
bahan menjadi 50 %
- Basa kuat (2 – 10 % BK bahan) dilarutkan dalam air dan
dicampur dengan bahan selama 3 – 10 menit dalam suatu wadah yang tertutup
- Kerusakan bahan dapat terjadi setelah 24 – 48 jam dibuka
Referensi:
Nurtjahya, E., Rumetor, SD., Salamena, JF., Hernawan, E., Darwati, S., dan Soenarno, SM. 2003. Pemanfaatan Limbah Ternak Ruminansia untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor
Yuwono, SD. 2002. Penerapan life cycle assessment pada pemanfaatan limbah pertanian menjadi furfural. Jurnal IPTEKS.
Tidak ada komentar:
Write comments